Wartakita.id, JAKARTA – Akhir tahun 2025 diwarnai serangkaian bencana hidrometeorologi yang melanda berbagai wilayah di Indonesia, tidak terkecuali di luar Pulau Sumatera. Banjir dan banjir bandang yang terjadi menyebabkan genangan air luas, tanah longsor, kerusakan infrastruktur vital, hingga memaksa ribuan warga melakukan evakuasi.
Fenomena cuaca ekstrem ini menggarisbawahi kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim dan mendesak upaya mitigasi serta adaptasi yang lebih komprehensif.
Di Jawa Tengah, objek wisata Guci di Tegal menjadi salah satu lokasi yang terdampak parah. Banjir bandang yang menerjang pada 20 Desember 2025 menghancurkan ikon wisata Pancuran 13 serta merusak jaringan pipa air panas.
Kejadian serupa juga dilaporkan terjadi di Pemalang, yang berada di lereng Gunung Slamet, wilayah yang memang dikenal rentan terhadap bencana hidrometeorologi.
Tak hanya di Jawa Tengah, Kalimantan Tengah juga menghadapi ancaman banjir. Kabupaten Barito Timur dilaporkan terendam banjir pada 14 Desember 2025, memaksa lima desa di tiga kecamatan terdampak mengungsi. Di Jawa Barat, Kabupaten Subang dilanda banjir rob pada 4 Desember, menggenangi wilayah pesisir.
Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur (NTT) juga tidak luput dari musibah ini, dengan laporan banjir di Luwu Timur dan wilayah lain di NTT.Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ratusan hingga ribuan warga terdampak dari berbagai kejadian banjir dan longsor tersebut. Meskipun di beberapa lokasi dilaporkan nihil korban jiwa, skala kerusakan infrastruktur dan kerugian ekonomi diperkirakan cukup signifikan.
Pemulihan pascabencana dilaporkan sedang berlangsung per 21 Desember, namun prediksi curah hujan tinggi diprediksi masih akan berlanjut hingga akhir tahun.
Pemicu Cuaca Ekstrem dan Faktor Perburukan
Penyebab utama dari serangkaian banjir ini adalah fenomena cuaca ekstrem yang ditandai dengan curah hujan yang jauh melebihi rata-rata. Para ahli mengaitkan peningkatan intensitas hujan ini dengan dampak perubahan iklim global. Namun, faktor-faktor lokal turut memperburuk situasi. Deforestasi, masifnya pembangunan perkotaan yang tidak memperhatikan sistem drainase, serta aktivitas pembalakan hutan menjadi kontributor penting terhadap meningkatnya risiko longsor dan banjir, terutama di wilayah pegunungan seperti lereng Gunung Slamet.
BNPB sendiri telah mencatat bahwa bencana hidrometeorologi menjadi faktor dominan sepanjang tahun 2025, dengan total korban meninggal mencapai 1.269 jiwa secara nasional. Selain itu, buruknya sistem drainase di wilayah pesisir seperti Subang dan minimnya upaya mitigasi di daerah-daerah yang secara geografis rawan bencana turut menjadi faktor penentu tingginya dampak yang ditimbulkan.
Kronologi dan Respons Bencana
Hujan intensif yang mengguyur sejak siang hari menjadi pemicu utama lonjakan debit sungai. Di Guci, Tegal, misalnya, Sungai Gung meluap dengan cepat, membawa material lumpur dan merusak berbagai fasilitas dalam hitungan jam. Di Subang, banjir rob terjadi akibat kombinasi pasang air laut yang tinggi dan curah hujan yang terus menerus.
Menghadapi situasi darurat ini, berbagai pihak bergerak cepat. BNPB, bersama dengan personel TNI/Polri dan tim relawan dari berbagai organisasi, termasuk Global Ehsan Relief, dikerahkan untuk melakukan evakuasi warga, mendistribusikan bantuan logistik, dan melakukan pembersihan pascabencana. Pemerintah pusat, di bawah koordinasi Presiden Prabowo, memantau dan mengarahkan upaya penanganan darurat di berbagai wilayah. Media massa, seperti Tempo.co dan TribunX, berperan penting dalam menginformasikan perkembangan situasi kepada publik.
Untuk wilayah yang terdampak banjir, upaya evakuasi menjadi prioritas utama. Di beberapa daerah, distribusi bantuan logistik bahkan harus dilakukan menggunakan kapal akibat terputusnya akses darat. Di Guci, area wisata ditutup sementara untuk memastikan keselamatan pengunjung dan memudahkan tim penanganan bencana bekerja. Upaya pembersihan menggunakan alat berat juga terus dilakukan.
Masa Depan dan Peningkatan Kesiapsiagaan
Peristiwa banjir yang meluas di luar Sumatera ini menjadi pengingat keras akan kerentanan Indonesia terhadap bencana hidrometeorologi. Untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang, berbagai langkah pencegahan dan peningkatan kesiapsiagaan perlu segera diimplementasikan. Program reboisasi di wilayah hulu dan peningkatan kualitas infrastruktur drainase di perkotaan dan pesisir menjadi krusial.
Pemerintah diharapkan dapat lebih proaktif dalam mengintegrasikan mitigasi bencana ke dalam setiap kebijakan pembangunan, serta memperkuat sistem peringatan dini yang dikelola oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Edukasi masyarakat mengenai risiko bencana dan cara mitigasi mandiri juga perlu ditingkatkan. Fenomena akhir tahun 2025 ini harus menjadi momentum untuk reformasi lingkungan yang lebih serius dan peningkatan kesiapsiagaan nasional menghadapi ancaman perubahan iklim.























