JAYAPURA – Balai Arkeologi Papua kembali menggelar sosialisasi rumah peradaban Situs Megalitik Tutari kepada 32 guru SD, SMP, SMA dan SMK dari Kabupaten Jayapura, di Jayapura, Senin.
Sebelumnya, sosialisasi yang sama juga telah dilakukan dua tahun terakhir di Doyo Lama, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura.
Kepala Balai Arkeologi Papua Gusti Made Sudarmika dalam materinya “Pembangunan karakter di Balai Arkeologi Papua melalui kegiatan rumah peradaban” memaparkan bahwa Situs Megalitik Tutari merupakan salah satu situs penting yang menggambarkan hadirnya peradaban di Papua sejak zaman prasejarah.
“Melalui situs ini kita dapat mengetahui bagaimana kepiawaian nenek moyang hidup dan berkarya. Potensi budaya Situs Tutari merupakan simbol-simbol budaya yang syarat dengan nilai-nilai kehidupan,” katanya.
Nilai-nilai budaya tersebut dapat menjadi sumber pembentukan karakter bangsa, yang patut diketahui dan dipahami untuk memupuk rasa kebanggaan dan semangat memajukan bangsa.
Rumah Peradaban Situs Megalitik Tutari, kata dia, bertujuan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengenal lebih dekat tentang Situs Megalitik Tutari.
“Selain itu, meningkatkan rasa ingin tahu tentang Situs Megalitik Tutari, meningkatkan wawasan siswa tentang situs tersebut melalui proses pengamatan langsung, menumbuhkan motivasi pada siswa untuk menghargai tinggalan arkeologi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, menggali dan memunculkan kemampuan kreativitas, berekspresi siswa dalam melukis motif Tutari dan karya ilmiah populer,” katanya.
Sementara, peneliti senior Balai Arkeologi Papua Hari Suroto dengan materi berjudul “Situs Megalitik Tutari untuk Generasi Milenial” mengatakan Situs Megalitik Tutari terletak di Kampung Doyo Lama, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, Papua.
“Situs ini menyimpan sejarah kebudayaan masyarakat di pinggir Danau Sentani pada masa prasejarah, tepatnya zaman neolitik akhir,” katanya.
Pada zaman itu, manusia mulai hidup bercocok tanam, berkelompok, menetap, dan tinggal bersama dalam kampung. Sejarah kebudayaan mereka terlihat dari peninggalan-peninggalan di situs ini.
“Diberi nama Tutari karena berada di Bukit Tutari. Konon suku yang pernah mendiami wilayah sekitar situs ini adalah Suku Tutari. Suku ini memperoleh makanan dengan berburu, menangkap ikan, beternak, dan bercocok tanam,” katanya.
Saat itu, lanjut dia, situs ini sebagai tempat penyembahan. Suku Tutari sendiri sudah musnah karena perang suku.
“Masyarakat Doyo Lama saat ini berdiam di sekitar situs bukanlah keturuan Suku Tutari. Mereka percaya, sebagian Suku Tutari menjelma jadi batu yang sekarang ada di situs ini. Masyarakat Doyo Lama percaya situs ini sakral hingga kini mitos tentang Suku Tutari dan nenek moyang masyarakat Doyo Lama diceritakan turun temurun pada generasi muda mereka,” katanya.
Peninggalan di situs ini antara lain batu lukis, batu bongkahan berbentuk arca, batu berbaris, dan menhir (batu berdiri). Balai Arkeologi mengelompokkan peninggalan di situs ini jadi enam sektor. Sektor I, II, III, IV adalah lokasi batu lukis dengan motif lukisan bervariasi.
“Lukisan-lukisan ini dihasilkan dengan cara menggores. Batu untuk menggores berjenis batuan beku peridiotit. Batu-batu hitam sebagai media lukis disebut batu gabro. Empat batu dipercaya sebagai representasi empat panglima perang ondoafi Uii Marweri yang mengalahkan Suku Tutari yaitu Ebe, Pangkatana, Wali dan Yapo,” katanya.
Batu berbaris ada di sektor V, kata dia, adalah batu-batu yang membentuk dua barisan dengan orientasi memanjang antara barat laut dan timur daya.
Barisan batu ini dipercaya sebagai jalan penghubung antara dunia manusia dan alam tempat roh nenek moyang bersemayam.
Kemudian, pada sektor VI merupakan lokasi situs paling tinggi. Pada masa prasejarah, tempat paling tinggi dipercaya sebagai paling sakral atau suci. Di sini ada 110 batu berdiri yang ditopang batu-batu kecil. Batu-batu ini berbentuk lonjong dengan ukuran bervariasi.
“Ia dipercaya sebagai tempat bersemayam roh nenek moyang. Ada motif manusia, manusia setengah ikan, binatang, tumbuhan, dan benda-benda budaya seperti gelang, kapak batu serta motif geometris seperti lingkaran dan matahari. Semua adalah ekspresi pengetahuan manusia saat itu tentang alam sekitar. Motif manusia berkaitan dengan tokoh-tokoh atau nenek moyang Suku Tutari,” kata Hari.
Lomba tentang Situs Tutari
Sedangkan, Bau Mene, yang juga peneliti Balai Arkeologi Papua memaparkan jenis-jenis dan teknis lomba tingkat SD, SMP, SMA, SMK, guru, mahasiswa Antropologi Universitas Cenderawasih dan mahasiswa ISBI Papua terkait sosialisasi Situs Tutari.
“Lomba-lomba ini akan dilaksanakan di Situs Megalitik Tutari pada 20-21 November 2019. Jumlah peserta untuk setiap sekolah 10 orang, di antaranya 8 siswa dan 2 orang guru pendamping,” katanya.
Kegiatan Rumah Peradaban Situs Megalitik Tutari ini diikuti oleh para siswa yang belum pernah mengikuti kegiatan tersebut. Ada yang berbeda untuk tahun ini, yaitu lomba vlog dan selfie untuk siswa SMA, siswa SMK, guru SD, guru SMP, guru SMP, guru SMK dan mahasiswa.
“Dengan berkunjung ke Situs Megalitik Tutari siswa diharapkan mampu mengamati secara langsung, mendekatkan siswa dengan situs megalitik Tutari dan menambah pengetahuan siswa tentang motif-motif Tutari,” kata Bau.
Dengan melukis motif Tutari diharapkan siswa dapat menuangkan gagasan dan imajinasi kreatifnya. Media yang digunakan untuk menggambar yaitu kertas gambar A3 dan kulit kayu.
“Dengan mendeskripsikan motif Tutari, siswa diharapkan mampu memaparkan atau menggambarkan secara jelas dan terperinci motif tersebut sesuai keadaan sesungguhnya,” katanya.
Selanjutnya, membuat karya ilmiah populer. Karya tulis ilmiah populer merupakan salah satu wahana bagi siswa untuk menyalurkan gagasan dan pengalamannya selama berkunjung ke situs Megalitik Tutari.
“Tulisannya informatif, perspektif dan memberikan informasi ke dalam cerita yang menarik dan logis. Sebagai bentuk orisinalitas karya tulis ilmiah, peserta yang telah diseleksi diminta untuk mempresentasikan karya ilmiahnya,” katanya.
Sebab, melalui karya ilmiah ini diharapkan etos ilmiah tumbuh di kalangan siswa, sehingga tidak hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan, melainkan juga mampu menjadi produsen pemikiran dan karya tulis dalam bidang ilmu pengetahuan.
“Hasil karya ilmiah para peserta lomba akan diambil karya yang terbaik. Dengan demikian, budaya untuk menghasilkan karya tulis ilmiah dapat tumbuh dan berkembang dalam diri siswa peserta Rumah Peradaban Situs Megalitik Tutari,” kata Bau.
Secara terpisah, Amelia Labobar guru SMPN 2 Sentani, memberikan apresiasi kepada Balai Arkeologi Papua yang menyelenggarakan kegiatan Rumah Peradaban Situs Megalitik Tutari untuk yang ketiga kali.
“Pada kegiatan rumah peradaban kali ini, SMPN 2 Sentani sangat senang bisa ikut kegiatan ini lagi. Kegiatan ini akan menambah wawasan siswa tentang Situs Megalitik Tutari, dapat menambah pengetahuan siswa tentang ragam motif Tutari dan maknanya,” katanya.
Sumber.