Wartakita.id, RIYADH — Senin, 22 Desember 2025, menjadi hari yang tak akan dilupakan oleh penduduk Jazirah Arab. Di tengah lanskap yang biasanya didominasi warna oker dan jingga dari pasir gurun, hamparan putih salju turun menyelimuti bumi, menciptakan pemandangan yang surealis namun nyata.
Bagi mata lensa kamera, ini adalah keindahan yang memukau. Namun, bagi hati orang beriman dan nalar para ilmuwan, fenomena di pengujung tahun 2025 ini membawa pesan yang jauh lebih berat daripada sekadar butiran es yang mencair.
Jejak Salju di Tanah Para Nabi
Fenomena langka ini dilaporkan melanda wilayah utara Arab Saudi, khususnya Provinsi Tabuk, mengubah pegunungan gersang menjadi layaknya Pegunungan Alpen di Eropa. Pusat Meteorologi Nasional Arab Saudi (NCM) mencatat, suhu udara di beberapa lokasi anjlok hingga di bawah 0 derajat Celsius pada dini hari.
Trojena, kawasan dataran tinggi di pegunungan Jebel Al-Lawz (2.600 mdpl), menjadi saksi bisu turunnya salju yang cukup tebal. Tidak hanya di sana, wilayah Hail, Al-Majmaah, dan Al-Ghat di utara Riyadh—yang secara historis sangat jarang menyentuh titik beku—juga dilaporkan memutih.
Juru bicara NCM, Hussein Al-Qahtani, menjelaskan secara meteorologis bahwa fenomena ini dipicu oleh intrusi massa udara dingin ekstrem yang bergerak ke wilayah tengah dan utara, berinteraksi dengan awan pembawa hujan. Namun, penjelasan sains ini hanyalah satu sisi mata uang.
Nubuat 14 Abad Silam: Mekanisme Alam Menuju Akhir Zaman
Bagi umat Islam, salju yang turun di Arab Saudi bukan sekadar anomali cuaca. Ini adalah visualisasi nyata dari sabda Nabi Muhammad SAW yang diucapkan lebih dari 1.400 tahun lalu, saat Jazirah Arab masih berupa padang tandus yang mematikan.
Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda:
“Tidak akan terjadi hari kiamat, sebelum harta kekayaan telah tertumpuk dan melimpah ruah, hingga seorang laki-laki pergi ke mana-mana sambil membawa harta zakatnya, tetapi dia tidak mendapatkan seorang pun yang bersedia menerima zakatnya itu. Dan sehingga tanah Arab menjadi subur makmur (hijau) kembali dengan padang-padang rumput dan sungai-sungai.”
Fenomena salju adalah kunci dari siklus hidrologi ini. Salju yang mencair akan meresap ke dalam tanah, mengisi akuifer (cadangan air tanah) purba, dan perlahan menghidupkan kembali vegetasi yang tertidur (dorman). Curah hujan ekstrem yang belakangan mengguyur Riyadh dan Qassim adalah katalisator yang mempercepat proses penghijauan gurun ini.
Apa yang kita saksikan hari ini adalah konfirmasi bahwa “jam alam” sedang berdetak menuju waktu yang telah dijanjikan.
Logika Kiamat dan Krisis Iklim: Sebuah Peringatan Keras
Melihat fenomena ini hanya dari kacamata takjub adalah sebuah kelalaian. Ada korelasi ilmiah yang mengerikan antara nubuat tersebut dengan krisis iklim (climate change) yang kini menghantui peradaban manusia.
Perubahan iklim global memaksa pergeseran sabuk hujan tropis dan mengubah pola jet stream atmosfer. Akibatnya, wilayah yang dulunya kering kerontang seperti Arab Saudi kini menerima curah hujan dan salju ekstrem. Sebaliknya, wilayah lain mungkin mengalami kekeringan panjang.
Secara logis, jika perubahan iklim global ini tidak disikapi dengan tobat ekologis yang serius oleh umat manusia, kita sedang mempercepat datangnya “kiamat-kiamat kecil” (kiamat sugra).
Bencana alam yang intensitasnya makin mengerikan—mulai dari banjir bandang di gurun, siklon tropis yang mulai mendekati garis ekuator, hingga gelombang panas yang mematikan—adalah akumulasi dari kerusakan yang diperbuat tangan manusia (fasad fil ardh).
Nubuat Nabi tentang tanah Arab yang kembali hijau sejatinya adalah indikator lingkungan. Ketika gurun berubah menjadi hutan atau sungai, itu berarti keseimbangan iklim global telah bergeser secara radikal. Pergeseran radikal ini tidak datang tanpa konsekuensi: bencana alam yang masif dan tak terprediksi.
Refleksi Kita
Pemandangan salju di Arab Saudi di akhir 2025 ini adalah sebuah “alarm ganda”.
Pertama, alarm teologis bahwa kita berada di fase akhir sejarah dunia, menuntut kita untuk memperbaiki kualitas iman. Kedua, alarm ekologis bahwa bumi sedang “demam tinggi”. Apa yang tampak indah di mata (salju di gurun) sesungguhnya adalah jeritan alam yang keseimbangannya terganggu.
Mungkin benar, salju di Tabuk adalah tontonan yang indah. Namun di baliknya, tersimpan pesan mendesak: Waktu kita tidak banyak, baik untuk bumi tempat kita berpijak, maupun untuk bekal hari akhir kelak.

























