Buku cetak mata pelajaran ilmu Tauhid masa SMA tidak seperti buku bahasa Arab, Fiqh atau Tarikh, judul buku tercetak sesuai mata pelajarannya. Di buku pelajaran Tauhid yang tertulis; “Pelajaran Akidah dan Akhlak” bukan “Pelajaran Tauhid”.
Guru pelajaran Tauhid ketika kutanya mengapa beda judul buku pegangan dengan nama pelajarannya, menjawab bahwa dalam bertauhid akhlak adalah kendaraannya. Akidah adalah mengapa Tauhid, dan bagaimana mengesakan Tuhan disebut akhlak.
Tanpa akhlak mustahil ada akidah tauhid, tanpa akidah tauhid mustahil ada akhlak. Sepasang, saling mengoreksi, saling memurnikan dan tidak terpisahkan. Kesimpulan yang masih terpakai hingga sekarang.
Setelah bepergian ke beberapa tempat, bertemu, bergaul dengan beragam karakter manusia dan mahluk lain cakupannya meluas.
Tauhid ternyata tidak hanya tentang mengesakan Tuhan, tapi juga mengesakan semesta, mahluk dan semua ciptaan sebagai satu kesatuan dan kesadaran sesama ciptaan yang berasal dari satu Pencipta.
Sisi lain akhlak selain bagaimana mengesakan Tuhan, adalah etika dan moralitas yang tumbuh dari kesadaran sebagai hamba Tuhan pada sesama ciptaan yang berasal dari satu Pencipta.
Seseorang yang berakidah Tauhid harus berakhlak. Akidah tauhid baru setengah bila hanya mentauhidkan Pencipta. Menjaga akhlak terhadap Pencipta namun tidak memiliki akhlak pada sesama, sama saja belum mengakui bahwa semua ciptaan (termasuk perbedaan) berasal dari satu Pencipta.
Perbedaan cara menafsirkan Tuhan atau cara menuhankan Tuhan sungguh amat pribadi, urusan tiap-tiap manusia langsung dengan Tuhan. Mestinya perbedaan akidah bukan penghalang untuk menyadari kemudian mengasihi, bahwa semua manusia, mahluk lain dan ciptaan berasal dari Pencipta yang sama. Seperti misi Islam yang dibawa nabi Muhammad SAW, agar menjadi rahmat bagi semesta alam, bukan hanya bagi bani Qurays, khusus orang Arab, hanya untuk umat muslim, atau terbatas pada manusia, tapi menjadi kasih sayang bagi semesta raya.
Meributkan mana mahzab yang benar, tata cara yang paling benar, bila hanya untuk merasa lebih benar lebih baik hindari, kecuali dalam konteks berdialog, muhasabah. Bila mau, tidak ada kesulitan bagi Tuhan membuat seluruh umat manusia beriman dalam satu keyakinan (QS Al Maidah Ayat 42). Beragama sama sekali bukan untuk merasa lebih benar atas yang lain.
Konflik Palestina, syi’ah dan sunni, Suriah, Yaman, ISIS, semua bukan tentang agama, begitu juga debat-debat kusir di sosial media. Banyak konflik yang nampak besar dan riuh sebenarnya terlalu ‘remeh’ untuk dikategorikan konflik agama meskipun berlabel dengan simbol-simbol agama.
Remeh dan sebaiknya diabaikan bila harus dibayar dengan merusak sisi terpenting dari akidah tauhid yaitu akhlak yang memanusiakan diri sendiri dengan memanusiakan orang lain. Dan sebaliknyam bila dapat memanusiakan diri sendiri dengan manusiakan orang lain, terjun bebas bukan pilihan.
Bila beragama maka tauhid, dan tauhid hanya bisa dicapai jika dan hanya jika berakhlak. Pondasi akidah tauhid bukan berdiri di atas banyaknya pembenaran, namun tegak di atas akhlak atau bahasa sederhanya: kebaikan dan kemanusiaan.