Wartakita, PALOPO – Berwisata sambil mengikuti nyekar punya kepuasan tersendir bagi setiap orang apalagi kalau tempatnya mendukung dengan nilai estetika dan religi. Salah satu tempatnyanya di pulau Libukang, Palopo, Sulawesi selatan. Pulau ini merupakan surga bagi pengikut ajaran Khalwatiah dan para keturunan mantan penghuni pulau Libukang.
Pulau yang letaknya tak jauh dari pelabuhan tanjung ringgit palopo, pulau ini merupakan surga kecil bagi orang orang keturunan eks penghuni pulau libukang yang tersingkirkan oleh kekejaman kolonial Belanda pada jamannya dan bagi para pengikut ajaran tharikat khalwatiah. Pulau ini dijadikan sebagai tempat rekreasi keluarga kerabat dan tempat berziarah di makam leluhur orang to libukang yang dahulunya adalah pejuang dan penerima ajaran tharikat khalwatiah.
Ombak yang tenang menjadikan pengunjung tenang hingga ketempat tujuan dengan menggunakan perahu motor selama 5 menit dari pelabuhan tanjung ringgit dengan jarak 2 kilometer. pengunjung bisa langsung berkeliling pulau yang luasnya sekitar 8 hektar sambil memantau alam berupa bakau dan atau kegiatan lainnya seperti mancing.
“Dengan membayar ongkos hingga ke pulau, cukup bayar lima ribu rupiah, jadi kalau pergi pulang yah bayar sepuluh ribu rupiah per orang,” jelas Sila pemilik perahu.
Pengunjung yang ingin istirahat atau beribadah bisa menyempatkan diri di masjid yang letaknya di pinggir pantai, sambil menikmati indahnya alam dan kesejukan angin laut yang berhembus sepoi – sepoi.
Pulau ini memang belum terjamak oleh wisatawan mancanegara, melainkan dari wisatawan lokal yang umumnya memiliki rasa penasaran dengan isi pulau tersebut. Untuk sampai di puncak pulau pengunjung harus melewati ratusan anak tangga yang terjal dibawah pepohonan nan rindang. Diatas pulau ini terdapat pohon pohon seperti pohon Cengkeh yang sudah berumur puluhan tahun bahkan hampir mencapai ratusan tahun, adapula pohon Durian, pohon Mangga dan pepohonan khas pinggiran pantai.
Saat kita telah sampai di makam leluhur orang to libukang yang disebut puang Hawang. Puang Hawang adalah penerima ajaran tarikat khalwatiah di kota palopo sejak ratusan tahun silam, dimakamnya menggunakan kelambu berwarna kuning terang yang menandakan simbol keteladanan atau memiliki kebangsawanan.
Pengunjung yang berziarah di makam ini biasanya menghadirkan tokoh kunci dari pulau ini yakni bapak martani untuk membacakan doa dan bercerita tentang pulau Libukang dan orang orang keturunan Libukang.
Di dalam makam, pengunjung sudah bisa menziarahi makam dengan memegang batu nizan lalu membaca beberapa ayat suci alquran, adapula yang melanjutkan dengan berdiri melantunkan lafas barsanji yang memuji muji keesaan Allah dan Rasullullah, dan berdzikir seperti yang dilakukan para pengikut tharikat khalwatiah.
Salah satu pengunjung yang kami temui, dan masih keturunan To Libukang, yakni Muhammad Thoriq Husler dan Irwan Bacheri Syam, keduanya adalah masih keturunan To Libukang, yang kini menjabat Bupati dan wakil Bupati Luwu Timur, Sulawesi selatan.
Menurut Thoriq Husler, kehadirannya untuk berziarah jelang Ramadhan, adalah yang pertama dilakukan sejak menjabat sebagai Bupati,
“Seperti biasanya, warga dan kita ummat Muslim, kalau jelang bulan Ramadhan, nyekar di pemakaman, dan saya ini termasuk pak wakil saya Irwan Bachri Syam adalah salah satu keturunan dari warga to Libukang, dimana disini terdapat banyak leluhur saya dimakamkan disini,” jelas Thoriq Husler.
Kesan yang dialami setelah mengikuti prosesi menurutnya bahwa sangat terharu bisa mengikuti kegiatan dengan khidmat.
“Saya sangat terharu terutama kesediaan keluarga orangtua, bisa berkumpul dan menemani berziarah di Makam ini sebagai cucunya, karena dari merekalah kami ada, kalau tidak ada kami pasti tidak seperti ini,” terangnya.
Setelah mengikuti prosesi nyekar atau ziarah di makam pengunjung dapat menikmati santapan khas kota palopo seperti ikan bakar, ikan lawak, Dange, dan Buras di pinggir pantai sambil menikmati alam seperti mandi mandi dan menjelajah sepanjang pantai. (Mir).