Wartakita.id BANDUNG – Mahasiswa pasca sarjana di perguruan tinggi negeri Indonesia tahun 1990 sampai tahun 2000 mesti pernah merasakan sulitnya kembali belajar ulang bahasanya sendiri, bahasa Indonesia. Semoga sekarang masih demikian.
Apalagi sejak tahun 1993 ‘government’ –saduran government menjadi pemerintah terasa tidak tepat lagi pasca reformasi ’98. ‘Government’ kini lebih bermakna sebagai pengatur, pelayan publik atau administrator ketimbang ‘Commander’ yang berarti pemerintah– mengharuskan semua istilah bahasa asing dan ejaan lama harus di-Indonesiakan sesuai EYD (Ejaan yang Disempurnakan). Program yang terinspirasi EYD yang salah seorang penggagasnya adalah JS. Badudu, kendati program pembinaan bahasa Indonesia di TVRI dihentikan karena pada salah satu episode mengkritik cara penyebutan akhiran ‘kan’ menjadi ‘ken’ oleh presiden RI ke-2 Soeharto.
Mahasiswa teknik, utamanya arsitektur harus berkenalan dengan bunyi-bunyi eksotis pengganti istilah asing. Selasar menggati koridor, ejawantah menggantikan implementasi. Indahnya.
Semua tidak lepas dari jasa Jusuf Sjarif Badudu yang berpulang hari Sabtu malam 12/3/2016 di RS. Hasan Sadikin Bandung. Menurut Ananda Badudu, cucu ketujuh almarhum, sang kakek akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung, Minggu (13/3). Wafat dalam usia 89 tahun. Sosok ini lahir di Gorontolo 19 Maret 1926.
J. S. Badudu adalah pakar bahasa Indonesia dan guru besar Linguistika di Universitas Padjajaran, Bandung. Pada periode 1974-1979 dia pernah membawakan acara Pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI.
Selain mengajar dan menulis berbagai artikel dan sejumlah buku yang berkaitan dengan bahasa Indonesia, J.S. Badudu juga menyusun setidaknya empat kamus, yaitu: Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia terbitan 1975, Kamus Umum Bahasa Indonesia tahun 2001, dan Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia. Dia juga dikenal sebagai penganjur penggunaan tata bahasa yang baik dan benar. (*)