Pramoedya Ananta Toer lahir hari ini pada tahun 1925 silam. Google Doodle membuat sebuah perayaan ulang tahun ke-92 baginya. Meski, sastrawan ini telah tutup usia akibat komplikasi diabetes serta penyakit jantung pada 31 April 2006 lalu.
Semasa hidupnya, Pram, demikian dia disapa, menulis berbagai novel, cerita, jurnal, dan kronik sejarah. Dia kerap mengkritik pemerintah melalui karya-karyanya, sehingga kerap bersinggungan dengan penguasa di masanya.
Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari perseteruan bapak-bapak kita terdahulu, permusuhan mereka menyejukkan, hal yang makin sulit kita temukan di masa sekarang. Termasuk permusuhan Pramoedya dengan Buya Hamka di masa orde lama.
“Saya lebih mantap mengirim calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik.” Kata Pram yang berhaluan kiri.
“Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai”
Pada suatu hari, Buya Hamka kedatangan sepasang tamu. Si perempuan pribumi, sedangkan laki-lakinya seorang keturunan China. Kepada Buya Hamka, si perempuan memperkenalkan diri. Namanya Astuti, sedangkan si laki-laki bernama Daniel Setiawan.
Buya Hamka agak terkejut saaat Astuti mengatakan bahwa ia adalah anak sulung dari Pramoedya Ananta Toer. Astuti menemani Daniel menemui Buya Hamka untuk masuk Islam sekaligus mempelajari agama Islam.
Cerita Astuti, selama ini Daniel adalah non-muslim. Ayahnya, Pramoedya, tidak setuju bila anak perempuannya yang muslimah menikah dengan laki-laki yang berbeda kultur dan agama.
Selesai Astuti menceritakan maksud kedatangannya serta latar belakang hubungannya dengan Daniel, tanpa ada sedikit pun keraguan Buya Hamka, permohonan kedua tamu itu diluluskannya.
Daniel Setiawan calon menantu Pramoedya Ananta Toer langsung dibimbing Buya Hamka membaca dua kalimat syahadat. Buya Hamka lalu menganjurkan Daniel berkhitan dan menjadwalkan untuk memulai belajar agama Islam dengannya.
Dalam pertemuan dengan putri sulung Pramoedya dan calon menantunya itu, Buya Hamka sama sekali tidak pernah menyinggung bagaimana sikap Pramoedya terhadapnya beberapa tahun lalu. Seperti benar-benar tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka berdua.
Salah seorang teman Pramoedya yang bernama Dr. Hoedaifah Koeddah pernah menanyakan kepada Pramoedya, apa alasan tokoh Lekra ini mengutus calon menantunya menemui Hamka. Dengan serius Pramodya menjelaskan kepada temannya itu.
“Masalah paham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki yang seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka.”
Menurut Dr. Hoedaifah yang tertuang dalam majalah Horison, Agustus 2006, secara tidak langsung tampaknya Pramoedya Ananta Toer dengan mengirim calon menantu ditemani dengan anak perempuannya kepada Buya Hamka, seakan ia meminta maaf atas sikapnya yang telah memperlakukan Buya Hamka kurang baik di Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat.
“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan”.
Dan secara tak langsung pula Buya Hamka memaafkan Pramoedya Ananta Toer dengan bersedia membimbing dan memberi pelajaran agama Islam kepada calon menantu Pramoedya.
Ada banyak kutipan Pram yang masih aktual hingga kini, di antaranya:
“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai”