Wartakita.id, SUMATERA – Video viral yang memperlihatkan ribuan batang kayu gelondongan menghantam jembatan dan rumah warga di Tapanuli dan Padang pada akhir November 2025 bukanlah adegan film bencana. Itu adalah realitas pahit dari kondisi ekologis Sumatera saat ini.
Banjir bandang ini membawa pesan yang jelas: hutan kita sedang sakit parah. Artikel ini akan menelusuri data di balik bencana tersebut dan menjawab pertanyaan besar: dari mana datangnya kayu-kayu itu?
Lihat postingan ini di Instagram
1. Jejak Deforestasi dalam Angka
Data tidak berbohong. Berdasarkan laporan Global Forest Watch, Provinsi Sumatera Utara telah kehilangan sekitar 1.6 juta hektare tutupan pohon sejak tahun 2000 hingga 2024. Itu setara dengan hilangnya 28% pelindung alami kita. Tahun 2024 bahkan mencatat lonjakan deforestasi yang signifikan.
Ketika hutan di hulu digunduli untuk perkebunan sawit atau tambang, tanah kehilangan kemampuannya untuk menyerap air. Hutan yang dulu bertindak sebagai spons raksasa kini berubah menjadi hamparan tanah padat yang meluncurkan air hujan langsung ke sungai.
2. Misteri Kayu Gelondongan
Investigasi Kementerian Kehutanan menyebut kayu tersebut berasal dari sisa penebangan di Areal Penggunaan Lain (APL). Namun, volume yang begitu masif mengindikasikan adanya akumulasi sisa tebangan yang tidak terkelola bertahun-tahun, atau bahkan praktik pembalakan liar yang “mencuci” kayu dari hutan lindung.
Kayu-kayu ini menjadi proyektil mematikan. Saat hujan badai turun, mereka terbawa arus, menyumbat aliran sungai, membentuk bendungan alami, dan ketika jebol, melepaskan air bah dengan kekuatan penghancur yang mengerikan.
3. Hutan vs Sawit: Perbandingan Hidrologis
Mengapa sawit tidak bisa menggantikan fungsi hutan? Secara hidrologis, perkebunan sawit memiliki kemampuan menyerap air (infiltrasi) yang jauh lebih rendah dibanding hutan alam.

Tanah di perkebunan sawit seringkali padat akibat aktivitas panen, sehingga air hujan lebih banyak menjadi aliran permukaan (runoff). Studi menunjukkan koefisien aliran di kebun sawit bisa 10 kali lebih tinggi dari hutan. Inilah sebabnya mengapa sungai-sungai di Sumatera kini begitu cepat meluap.
Hujan adalah Buatan Alam dan Banjir adalah Buatan Manusia
Banjir November 2025 adalah “banjir buatan manusia”. Solusinya bukan hanya membangun tanggul beton, tetapi mengembalikan pohon ke hulu. Moratorium penebangan hutan alam dan restorasi daerah aliran sungai adalah harga mati jika kita ingin mencegah Sumatera tenggelam di masa depan.
Baca lengkap laporan penelitian literatur online dibantu AI yang menyimpulkan bahwa Siklon Senyar bukanlah anomali tunggal, melainkan peringatan dini dari perubahan rezim iklim tropis. Di sisi lain, banjir kayu gelondongan adalah bukti forensik dari salah urus bentang alam Sumatera.
Tanpa intervensi segera—melalui moratorium konversi hutan, penegakan hukum lingkungan yang keras, dan revitalisasi kearifan lokal—Sumatera menghadapi risiko menjadi wilayah yang semakin tidak layak huni akibat bencana hidrometeorologi yang berulang dan semakin intens.
Rekomendasi dalam laporan ini diharapkan menjadi peta jalan bagi pemulihan keseimbangan ekologis dan keselamatan masyarakat di masa depan.























