Wartakita.id, SUMATERA – Ketika sirene peringatan dini mati karena listrik padam dan tanggul beton jebol dihantam arus, siapa yang menyelamatkan kita?
Bencana hidrometeorologi November 2025 mengajarkan pelajaran berharga: teknologi penting, tapi kekuatan komunitas dan kearifan lokal adalah benteng pertahanan terakhir yang paling tangguh.
Di tengah krisis iklim, masyarakat Sumatera mulai menengok kembali warisan leluhur sebagai solusi mitigasi bencana yang teruji zaman.
1. Keajaiban Lubuk Larangan
Di banyak tempat di Sumatera Utara dan Barat, terdapat tradisi “Lubuk Larangan”—zona sungai yang dilarang diambil ikannya atau diganggu ekosistemnya dalam periode tertentu. Tradisi ini bukan sekadar mistis, tapi sains ekologi tingkat tinggi.
Dengan melarang aktivitas di zona tersebut, ekosistem sungai terjaga, pohon-pohon di tepian sungai (riparian) tumbuh subur menahan erosi, dan pendangkalan sungai bisa dicegah.

Sebagai contoh, Jorong (desa) Batang Gadih di Tanah Datar, Sumatera Barat dan desa-desa yang masih memegang teguh adat ini terbukti lebih tahan terhadap hantaman banjir bandang karena bantaran sungainya masih alami dan kokoh.
Hutan-hutan yang berada di tebing sebelah Selatan Gunung Marapi masih terjaga. Aturan adat tentang jumlah maksimal pohon yang bisa ditebang tiap tahun dan setiap menebang 1 pohon harus diganti dengan minimal 10 batang bibit pohon yang sama, dilaksanakan oleh masyarakat setempat dengan penuh kesadaran.
2. Aksi Komunitas Peduli Sungai
Selain tradisi, muncul gerakan modern berupa Komunitas Peduli Sungai (KPS). Anak-anak muda bergerak membersihkan sampah dan kayu yang menyumbat aliran sungai sebelum musim hujan tiba.
Mereka menjadi “CCTV hidup” yang memantau ketinggian air di hulu dan mengabarkan ke hilir menggunakan radio komunikasi sederhana. Gerakan akar rumput ini murah, cepat, dan efektif. Pemerintah daerah harus mendukung inisiatif ini dengan dana desa dan perlengkapan yang memadai.
3. Sinergi dengan Kebijakan
Kearifan lokal tidak bisa berjalan sendiri. Ia butuh payung hukum. Pemerintah harus mengakui wilayah hutan adat dan zona Lubuk Larangan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Jangan sampai zona konservasi adat ini digusur demi izin perkebunan.
Sinergi antara hukum positif negara dan hukum adat adalah kunci keberhasilan mitigasi bencana di masa depan.
Kita Bisa Menyiapkan Payung
Kita tidak bisa menghentikan hujan badai, tapi kita bisa menyiapkan payung pelindung. Payung itu ditenun dari benang-benang kearifan lokal, solidaritas komunitas, dan kebijakan yang berpihak pada alam. Mari kembali ke sungai, bukan untuk mengeksploitasinya, tapi untuk menjaganya.
Bencana November 2025 di Sumatera adalah kulminasi dari dua krisis yang bertabrakan: krisis iklim global yang membawa siklon ke ekuator, dan krisis ekologis lokal akibat deforestasi yang tak terkendali.
Baca lengkap laporan penelitian literatur online dibantu AI yang menyimpulkan bahwa Siklon Senyar bukanlah anomali tunggal, melainkan peringatan dini dari perubahan rezim iklim tropis. Di sisi lain, banjir kayu gelondongan adalah bukti forensik dari salah urus bentang alam Sumatera.
Tanpa intervensi segera—melalui moratorium konversi hutan, penegakan hukum lingkungan yang keras, dan revitalisasi kearifan lokal—Sumatera menghadapi risiko menjadi wilayah yang semakin tidak layak huni akibat bencana hidrometeorologi yang berulang dan semakin intens.
Rekomendasi dalam laporan ini diharapkan menjadi peta jalan bagi pemulihan keseimbangan ekologis dan keselamatan masyarakat di masa depan.























