MAKASSAR – Analisis dinamika atmosfer tim peneliti dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menunjukkan cuaca berawan di titik lokasi pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ-182 hilang kontak pada Sabtu (9/1/2021).
Ada sistem konveksi udara yang tumbuh di lokasi itu, di sekitar Pulau Laki, Kepulauan Seribu. “Terdapat konvergensi angin dari utara dan barat di permukaan (10 meter) yang telah mengintrusi kelembapan dan menumbuhkan sistem konveksi baru dari Laut Jawa ke utara Jakarta,” bunyi di antara hasil analisis itu yang dibagikan LAPAN dalam akun resmi media sosialnya, Ahad (10/1/2021).
Analisis dari skala yang lebih luas menyebut adanya vorteks Borneo dan angin baratan kuat dari Samudera Hindia berkecepatan 7-8 meter per detik. Kecepatan itu lebih kuat dari umumnya angin monsun baratan yang mendekati 3 meter per detik.
Meski begitu, cuaca saat itu tak tergolong ekstrem. Ini seperti keterangan tambahan yang disampaikan Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin dengan menyertakan citra satelit berisi rekaman liputan awan dan prakiraan hujan ekstrem di lokasi yang sama pada Sabtu, pukul 15.00. Pesawat Sriwijaya hilang kontak Pukul 14.40 WIB.
“Tidak ada kondisi awan atau hujan ekstrem di titik kejadian,” kata Thomas sambil menambahkan kondisi angin dan dinamika atmosfer secara lebih rinci masih dianalisis oleh tim peneliti di LAPAN.
- Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 Hilang Kontak, Jatuh di Kepulauan Seribu
- Mahasiswa Asal Makassar Berkompetisi pada Muatan Roket dan Roket Indonesia
“Dinamika atmosfer ini mempengaruhi pesawat yang melintas, tetapi belum tentu menjadi penyebab jatuhnya pesawat,” tambahnya.
Analisis dinamika atmosfer juga mengungkap sistem konveksi skala meso telah terbentuk di atas Lampung dan Laut Jawa sejak Pukul 11.00 WIB.
Sistem konveksi ini lalu pecah dan berpropagasi atau bergerak ke selatan, yang berasosiasi dengan pertumbuhan sistem konveksi skala meso lain di atas Jawa bagian barat selama rentang Pukul 13-15 WIB.
Analisis dilakukan tim LAPAN di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer menggunakan aplikasi sistem peringatan dini atmosfer esktrem berbasis satelit dan model atmosfer. Dikenal dengan nama SADEWA, aplikasi ini dikembangkan untuk mendukung riset atmosfer dan aplikasinya.
Sumber: Tempo