Setahun lebih setelah pandemi Covid-19 melanda, mulai terlihat negeri mana saja yang sistem penyangga kesehatan rakyatnya yang lebih siap menghadapi pandemi atau masalah kesehatan lainnya, dan ternyata tidak ada yang benar-benar siap.
Amerika Serikat yang memiliki organisasi khusus pusat pencegahan penyakit kronis dan peningkatan kesehatan (CDC) juga kelimpungan menghadapi SARS-Cov2 yang sama sekali baru. Tidak ada yang siap tanpa data komprehensif sebelum mengeksekusi dua langkah penting melawan pandemi, mencegah dan mengobati, yang baru dan sedang dikumpulkan.
Namun, mereka belajar cepat, dengan berpegang teguh pada prinsip kebenaran ilmiah, dimulai dengan kesadaran tidak tahu apa-apa tentang SARS-Cov2, kemudian mencari tahu yang kesemuanya terdata, mengolah data tersebut menjadi informasi, bibit teori pengetahuan tentang SARS-Cov2. Ilmuwan tidak akan memulai hipotesa dengan ‘sok tahu’ yang dasarnya lebih banyak asumsi dan atau data empiris yang jumlah kasusnya belum bisa disebut fakta empiris.
Politikus tidak mengapa sok tahu, jangankan kebenaran ilmiah, norma (pantas dipertanyakan ketepatan penggunaan kata norma di sini) yang berlaku dalam politik berbeda. Kesalahan fatal sah-sah saja di ‘spin-off’ demi mencapai kepentingan. Politikus tidak boleh salah, kalau berbuat salah upayakan bagaimana pun caranya agar terlihat benar dan mendapat keuntungan politis dari kesalahan tersebut. Sementara ilmuwan harus berani salah dan mengakui kesalahannya, karena lebih banyak pengetahuan baru dalam temuan kesalahan ketimbang dalam temuan kebenaran.
Di negeri kita, pejabat publik yang mengurus dan mengambil kebijakan mengatasi masalah pandemi dan efek berantainya ke berbagai bidang, hanya sedikit sekali yang ilmuwan dan profesional. Kalau pun ada, rasanya telah tersandera kepentingan politik dan kekuatan oligarkis yang menempatkan mereka sebagai pejabat publik. Akibatnya, banyak kebijakan yang lebih bernuansa suksesi 2024 ketimbang mencanangkan target bebas pandemi Covid-19.
Dana pengadaan bansos tanpa hati dikorupsi, kepala-kepala daerah mulai menjelma raja-raja kecil dalam menerjemahkan kebijakan pusat dan nasional untuk mengatasi pandemi sebelum dilaksanakan. Semuanya terbalut nuansa politik yang kental.
Belajar dari Amerika Serikat yang sebagian (kecil) pejabat publiknya juga politisi, bukan kalangan profesional yang dominan mengisi jabatan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan rakyat, walaupun presiden sebelum Joe Biden terpilih, sempat mengambil kebijakan tidak ilmiah mengatasi pandemi. Namun, berhasil kembali ke jalan yang benar secara ilmiah. Suksesi pun berlangsung tanpa menjadikan pandemi COVID-19 sebagai tunggangan kepentingan politik.
Mengapa Amerika Serikat bisa, Indonesia belum bisa?
Kami belum pernah ke AS, banyak referensi online sebelum menyimpulkan kemudian mencari tahu bagaimana sistem yang mengatur kekuasaan dan keselamatan rakyat di sana terbukti lebih baik dari sistem yang sedang berlaku di Indonesia di masa pandemi.
Di era presiden Obama pernah terjadi APBN usulannya tersandera di senat selama beberapa bulan. Gejolak politik tersebut sama sekali tidak mempengaruhi kinerja organisasi negara di AS. Tanpa angggaran pemerintah, mereka tetap bekerja optimal melayani rakyat Amerika Serikat. Kok bisa.
Kesampingkan dulu membandingkan sikap mental dan perspektif pejabat publik di sini dengan di sono saat memandang jabatan dan rakyat. Itu bisa dibentuk dengan sistem. Lebih rasional mengamati dan mempelajari sistem mereka, sebelum memikirkan bagaimana mengatur peran manusia dalam sebuah organisasi negara, yang karakter dan ambisi merajanya berani mensiasati kemanusiaan, keagamaan dan ketuhanan. Sistem yang bisa mengubah manusia demikian, mesti memiliki keberanian menghukum pejabat publik seperti yang diterapkan Cina dalam menghukum koruptor.
Sekali lagi filosofi perang: “Musuh berjumlah besar, tetapi tanpa organisasi bisa dikalahkan oleh pasukan kecil terorganisir” terbukti benar oleh negara-negara yang berhasil melepaskan diri dari situasi pandemi. Pemisahan jelas antara kekuasaan politik dan kekuasaan, dengan organisasi yang bertanggung jawab mengurus rakyat, membuat politisi negara-negara maju tersebut bisa asyik berpolitik sampai mengotori seluruh tubuh dan partai mereka, tanpa mengorbankan rakyat banyak.
Di Indonesia tidak ada pemisahan jelas antara organisasi negara (to govern the people) yang mengatur rakyat, dengan organisasi kekuasaan politis (to rule and secure the (political power) country), mirip kerajaan dalam bentuk republik. UUD 1945 perlu ditafsirkan lebih dalam untuk membuat payung hukum mengubah sistem demikian, dan itu membutuhkan waktu lama mengingat riuhnya cara berpikir dan jalan hidup lima tahunan sebagian besar wakil-wakil rakyat kita.
Lalu bagaimana dong?
Sebagai rakyat yang tidak memiliki kekuasaan dan kekuatan mengubah keadaan secara masif, memang tidak banyak yang bisa kita perbuat. Namun, satu gelombang suara sebesar 5Hz bisa mengubah harmoni sebuah komposisi lagu secara utuh. Ini sudah kami buktikan di studio musik seorang kawan yang komposer. Banyak langkah kecil setara gelombang suara 1-5Hz yang bisa kita lakukan dengan kapasitas sebagai rakyat, pemilik kekuasaan sesungguhnya.
Langkah pertama patuhi protokol kesehatan untuk melindungi diri sendiri dan orang lain, mendaftar vaksinasi sebelum mulai mengamati dan mengumpulkan data, mengenali keadaan.
Krisis melahirkan patriot dan oportunis
Krisis akibat pandemi mulai menjalankan fungsinya, menjadi ibu kandung yang melahirkan dan memisahkan siapa patriot dan siapa yang oportunistis. Penggembira yang membawa konten negatif dan konspiratif di saat krisis, mungkin semacam bayi yang lahir prematur.
Tenaga kesehatan yang tetap bekerja meski belum menerima tunjangan sampai 9 bulan jelas patriot. Orang-orang berada yang membeli vaksin dan mengadakan vaksinasi gratis, patriot. Kita yang mau mematuhi protokol kesehatan juga patriot.
Pedagang yang mengambil keuntungan maksimal setelah membuat oksigen, masker, APD dan lain-lain menjadi langka, jelas oportunis. Politisi yang memanfaatkan krisis akibat pandemi demi tangga suksesi 2024 dengan segala macam kombinasi kelicikan, jelas oportunis.
Kami belum putus asa, sampai hari ini masih berharap patriot lahir dari kalangan pejabat publik (eksekutif, yudikatif, dan legislatif). Definisi patriot secara rasa memang lebih pantas disandang oleh mereka yang melakukan apa pun di luar kewajiban dan tugas fungsionalnya sebagai rakyat sipil, tetapi mau dan rela menambal lubang-lubang kebijakan dan tindakan yang belum dan tidak dilaksanakan oleh pejabat publik.
Kewajiban dan tanggung jawab seorang pejabat publik, sipil maupun militer, dari eksekutif, legislatif sampai yudikatif memang tidak ringan. Sebagai rakyat yang memiliki kenalan dan kerabat, kami tahu betul tingkat kesulitan dan kompleksitas tanggung jawab pejabat publik meski dengan berbagai kemudahan dan kemewahan fasilitas tetap sedemikian tinggi, walau tanpa ada pandemi. Tetap bukan pembenaran setelah menerima jabatan dan bersumpah akan bertanggung jawab atas nama Tuhan.
Karena itu mereka yang sanggup melaksanakan tugas dan kewajibannya saja sebagai pejabat publik mengatasi pandemi demi rakyat, tanpa terdistorsi kepentingan pribadi, oligarki, politis dan jalan hidup lima tahunan, juga pantas disebut patriot, bukan oportunis.