SEOUL, Korea Selatan — Sebuah malam yang menegangkan di Korea Selatan berakhir dengan dicabutnya darurat militer oleh Presiden Yoon Suk Yeol, setelah parlemen secara tegas menolaknya. Langkah ini menandai akhir dari drama politik yang mengingatkan kembali pada era otoriter yang pernah membayangi negara ini.
Darurat militer, yang diberlakukan pada Selasa malam, menciptakan ketegangan luar biasa. Presiden Yoon bersumpah untuk “menghapus kekuatan anti-negara” yang ia tuding merongrong stabilitas pemerintahan. Namun, hanya dalam waktu tiga jam, parlemen yang didominasi oposisi melawan dengan suara bulat menolak langkah tersebut. Deklarasi itu secara resmi dicabut pada Rabu pagi sekitar pukul 04.30 waktu setempat.
Ketua Majelis Nasional, Woo Won Shik, menyebut deklarasi darurat militer ini sebagai tindakan “tidak sah” dan berjanji bahwa parlemen akan berdiri di sisi rakyat untuk melindungi demokrasi. “Dengan cepatnya pasukan meninggalkan halaman parlemen, kita telah menunjukkan kedewasaan militer kita dalam menghadapi situasi yang rumit,” ujar Woo.
Ketegangan Politik yang Memanas
Langkah Presiden Yoon memicu kecaman luas, termasuk dari partainya sendiri, Partai Kekuatan Rakyat. Oposisi liberal, yang dipimpin oleh Lee Jae-myung dari Partai Demokrat, segera mengambil langkah defensif dengan mengamankan aula parlemen. Lee juga menuduh bahwa militer sempat mencoba menangkapnya bersama sejumlah pemimpin politik lainnya.
Pemandangan dramatis menyelimuti parlemen. Tentara bersenjata dan kendaraan militer memenuhi halaman Majelis Nasional, sementara ribuan pengunjuk rasa berkumpul di luar, menyerukan pemakzulan Presiden Yoon. Beberapa bentrokan kecil terjadi, tetapi secara umum situasi terkendali.
Konteks Darurat Militer dan Konstitusi
Darurat militer di Korea Selatan hanya dapat diberlakukan dalam situasi seperti perang atau ancaman nasional yang sangat serius. Deklarasi ini memberikan wewenang kepada presiden untuk membatasi kebebasan sipil, termasuk kebebasan pers dan hak berkumpul. Namun, parlemen memiliki hak konstitusional untuk menolak deklarasi tersebut, seperti yang terjadi kali ini.
Dalam pidato yang disiarkan televisi, Presiden Yoon mengatakan langkah ini diambil untuk “melindungi tatanan demokrasi konstitusional” dari kekuatan pro-Korea Utara. Namun, kritikus menyebut tindakan ini sebagai upaya otoriter untuk menekan oposisi yang menguasai parlemen.
Respons Internasional
Dari Washington, Gedung Putih menyatakan “keprihatinan mendalam” atas situasi di Korea Selatan. Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS menegaskan bahwa Amerika Serikat tetap berkomitmen mendukung stabilitas demokrasi di Korea Selatan. Sementara itu, Pentagon memastikan bahwa lebih dari 27.000 personel militer AS di negara tersebut tidak terdampak oleh deklarasi darurat militer.
Dampak Politik dan Sosial
Keputusan Presiden Yoon menjadi deklarasi darurat militer pertama sejak Korea Selatan memasuki era demokrasi pada 1987. Langkah ini memicu pertanyaan tentang arah kebijakan pemerintahannya yang semakin konfrontatif terhadap oposisi dan Korea Utara.
Natalia Slavney, analis politik di 38 North Stimson Center, menyebut tindakan ini sebagai “kemunduran serius bagi demokrasi Korea Selatan.” Dia mengingatkan bahwa negara ini memiliki sejarah panjang dalam melindungi pluralisme politik, termasuk pemakzulan presiden sebelumnya, Park Geun-hye, pada 2017.
Bagi Yoon, langkah ini mungkin menjadi perjudian politik terbesar sepanjang kariernya. Tingkat persetujuan terhadap pemerintahannya telah menurun tajam, dan ancaman pemakzulan kini semakin nyata.
Arah Selanjutnya
Drama ini menyoroti tantangan besar yang dihadapi demokrasi Korea Selatan. Sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di Asia, stabilitas politiknya memiliki dampak signifikan pada kawasan dan dunia.
Meskipun darurat militer telah dicabut, ketegangan antara presiden dan parlemen tampaknya belum akan mereda. Pertanyaan terbesar yang kini mengemuka adalah apakah Yoon dapat memperbaiki hubungannya dengan parlemen atau justru menghadapi nasib serupa seperti pendahulunya yang dimakzulkan.