MAKASSAR – Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (Polda Sulsel) secara resmi menetapkan 53 individu sebagai tersangka dalam insiden kerusuhan massal dan pembakaran yang menyertai demonstrasi menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Makassar.
Penetapan ini, yang diumumkan pada Selasa, 28 Oktober 2025, bukan hanya menandai langkah tegas aparat penegak hukum, tetapi juga membuka tabir kompleksitas permasalahan ekonomi dan sosial yang memicu eskalasi protes di salah satu kota metropolitan terbesar di Indonesia Timur ini.
Insiden tersebut mengakibatkan sejumlah aparat kepolisian terluka dan gedung wakil rakyat mengalami kerusakan signifikan, memantik sorotan tajam terhadap dinamika hubungan pemerintah-rakyat dan efektivitas kebijakan publik.
Kronologi Insiden dan Tindakan Hukum Polda Sulsel
Kerusuhan bermula dari aksi demonstrasi yang menuntut pembatalan kenaikan PBB sebesar 20 persen, sebuah kebijakan yang dianggap memberatkan sebagian besar masyarakat Makassar. Awalnya berlangsung damai, namun suasana berubah mencekam ketika massa mulai membakar ban, melempari gedung DPRD dengan batu, hingga berujung pada tindakan pembakaran fasilitas publik. Kapolda Sulawesi Selatan, Irjen Pol Rusdi Hartono, menegaskan bahwa penetapan 53 tersangka ini didasarkan pada bukti-bukti kuat, termasuk rekaman kamera pengawas (CCTV) dan keterangan saksi mata yang akurat di lokasi kejadian.
Para tersangka dijerat dengan pasal-pasal krusial dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), meliputi penganiayaan (Pasal 351), perusakan (Pasal 406), dan pengeroyokan (Pasal 170). Sanksi hukum yang mengancam para pelaku tidak main-main, menunjukkan keseriusan aparat dalam menjaga ketertiban umum dan mencegah tindakan anarkis terulang. Proses identifikasi dan penangkapan dilakukan melalui razia pasca-aksi dan koordinasi intensif dengan Kejaksaan Tinggi Sulsel untuk memastikan seluruh prosedur hukum berjalan sesuai koridor.
Mengapa Kenaikan PBB Memicu Kerusuhan?
Kenaikan PBB sebesar 20 persen bukanlah sekadar angka, melainkan cerminan kebijakan fiskal yang berpotensi memiliki dampak berjenjang terhadap struktur ekonomi masyarakat. Bagi banyak warga Makassar, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi, kenaikan ini terasa sebagai beban tambahan yang signifikan. Data inflasi regional menunjukkan adanya tekanan pada biaya hidup, dan kenaikan PBB, yang merupakan pajak bersifat regresif, secara proporsional lebih memberatkan kelompok berpenghasilan rendah dan menengah.
Penelusuran WartaKita mendapati bahwa protes serupa juga terjadi di beberapa daerah lain sebagai respons terhadap isu kenaikan PBB atau retribusi daerah. Namun, di Makassar, eskalasi menjadi kerusuhan menggarisbawahi adanya ketegangan laten dan ketidakpuasan mendalam terhadap kebijakan pemerintah daerah. Isu transparansi dalam penentuan nilai jual objek pajak (NJOP) serta kurangnya sosialisasi dan dialog publik yang efektif sebelum kebijakan diterapkan seringkali menjadi pemicu utama gejolak sosial.
Kota Makassar menunjukkan bahwa sektor properti dan pembangunan infrastruktur kota berkembang pesat, namun tidak selalu diimbangi dengan peningkatan daya beli masyarakat. Kenaikan PBB yang tidak disertai penjelasan memadai mengenai alokasi dana dan manfaat langsung bagi warga dapat menimbulkan persepsi negatif, yaitu pajak hanya menjadi beban tanpa imbal balik yang jelas. Hal ini semakin diperparah dengan dugaan bahwa kenaikan tersebut tidak mempertimbangkan perbedaan kemampuan ekonomi antarwarga di berbagai wilayah di Makassar, dari pusat kota yang sibuk hingga pinggiran yang masih berkembang.
Tantangan Dialog Publik

Dampak dari penetapan tersangka dan insiden kerusuhan ini berpotensi multifaset. Secara hukum, proses peradilan akan menjadi ujian bagi sistem hukum di Indonesia dalam menangani kasus-kasus demonstrasi yang berujung pada kekerasan. Secara sosial, insiden ini dapat meninggalkan trauma dan polarisasi antara masyarakat dengan aparat keamanan, serta antara warga dengan pemerintah. Jurnalisme investigatif menekankan pentingnya menjaga independensi dan objektivitas dalam meliput perkembangan kasus ini, memastikan keadilan ditegakkan bagi semua pihak.
Pemerintah daerah dihadapkan pada tantangan besar untuk memulihkan kepercayaan publik dan membangun kanal komunikasi yang lebih efektif. Dialog pemerintah-warga yang disebut sebagai upaya “mencegah eskalasi” pasca-kejadian, harus benar-benar substansial, transparan, dan inklusif. Pendekatan berbasis data, misalnya dengan mempublikasikan analisis dampak ekonomi dari kenaikan PBB atau menyajikan alternatif kebijakan yang lebih berkeadilan, dapat menjadi langkah awal untuk meredakan ketegangan. Tanpa upaya ini, potensi konflik serupa akan selalu membayangi kebijakan publik yang tidak populer.
Keseimbangan Antara Keadilan dan Kebijakan Berpihak Rakyat
Penetapan 53 tersangka dalam kasus kerusuhan penolakan PBB di Makassar adalah cerminan dari kompleksitas hubungan antara hak warga untuk berekspresi dan kewajiban negara untuk menjaga ketertiban.
Insiden ini menegaskan kembali bahwa kebijakan ekonomi, sekecil apapun, dapat memicu gejolak besar jika tidak dikomunikasikan secara transparan, partisipatif, dan berkeadilan.
WartaKita menyoroti pentingnya pemerintah daerah untuk tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga pada evaluasi mendalam terhadap akar penyebab kerusuhan: kebijakan PBB yang memberatkan dan kurangnya ruang dialog yang substansial.
Masa depan stabilitas sosial di Makassar akan sangat bergantung pada kemampuan semua pihak untuk menyeimbangkan penegakan keadilan dengan perumusan kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan rakyat.
























