Illiterasi atau cacat literasi yang mengindikasikan rendahnya keterampilan literasi, menyebabkan rendahnya ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas di suatu daerah, yang pada akhirnya berpengaruh pada tingkat perekonomian secara nasional.
Data September 2015, dari World Literacy Foundation memperkirakan Indonesia secara ekonomis merugi sekitar 10,7 milyar dolar atau lebih kurang 144 triliun rupiah karena masih tingginya tingkat illiterasi di Indonesia.
“Potensi kerugian atau ongkos triliunan rupiah ini seharusnya menjadi catatan penting pemerintah untuk menjadikan literasi sebagai program prioritas dan tak masuk hanya sebagai bagian Permendikbud tentang budi pekerti,” ujar Mustajib Communication Specialist USAID PRIORITAS Sulawesi Selatan, Rabu, 21 Desember 2016.
Illiterasi ini mencakup kemampuan secara dasar membaca dan menulis, tapi seseorang tidak bisa menstransfernya menjadi ketrampilan untuk membaca label obat, mengisi surat lamaran kerja, berkorespondensi memakai internet, mengoperasikan kalkulator dan lain sebagainya.
“Walaupun memiliki level dasar membaca dan menulis, tapi mereka gagap dalam menggunakannya di bidang yang lain yang membutuhkan pemikiran kritis dan penghitungan, sehingga tidak mampu, umpamanya, membantu anak-anaknya sendiri mengerjakan pekerjaan rumah, menggunakan computer banking, dan lain-lain, yang bisa menghambat keefektifan seseorang terjun dalam kehidupan sosial dan ekonomi,” ujarnya lebih lanjut.
“Karena hal tersebut, orang yang literasinya rendah, berdasarkan penelitian UNESCO, menunjukkan kecenderungan untuk memperoleh pendapatan yang tetap seumur hidupnya. Mereka menjadi terbatas kesempatannya memperoleh kerja yang lebih baik dan pendapatan lebih besar,” ujarnya.
Mereka juga cenderung untuk mengalami malnutrisi, dan hidup dalam kemiskinan. “Mereka yang literasinya baik, karena sering membaca, akan cenderung mengerti tentang cara mencegah penyakit, dan memilih menu makanan yang bergizi, sehingga lebih tinggi kesempatan untuk hidup lebih sehat dan mengurangi beban negara dalam subsidi kesehatan,” ujarnya.
Hubungan antara literasi yang rendah dengan kejahatan juga sangat jelas. Kebanyakan penjara-penjara memang diisi oleh orang-orang yang tingkat literasinya rendah. Mustajib juga menunjukan data dari World Literacy Foundation yang menunjukkan bahwa 60 – 80 persen orang-orang yang dipenjara di hampir seluruh dunia adalah orang-orang yang mengalami illiterasi.
“Kerugiannya tentu banyak bagi negara, karena harus membiayai pendirian rutan, memberi makan dan menjaga kesehatan mereka,” ujarnya lebih lanjut.
Orang-orang yang literasinya rendah juga cenderung memiliki harapan rendah terhadap tingkat edukasi untuk anak dan juga untuk dirinya sendiri. Mereka juga jarang memberikan dorongan belajar pada anak-anaknya. “Kita bisa lihat pada orang-orang tua yang pendidikannya rendah juga cenderung membiarkan anaknya tidak belajar,” ujarnya.
Tanpa tingkat literasi dasar yang mencukupi dan ketrampilan penghitungan yang baik, literasi teknologi juga akan susah dicapai. Tanpa literasi teknologi, maka susah bagi suatu negara untuk berkompetisi dalam pasar global.
Pelatihan Menulis di Sidrap
Menyadari pentingnya gerakan literasi, beberapa daerah seperti kabupaten Sidrap Sulsel telah mendeklarasikan diri menjadi kabupaten literasi. Oleh karena itu, Sidrap juga terus menerus mendorong sekolah-sekolahnya untuk meningkatkan ketrampilan literasi para siswanya.
Misalnya, SDN 11 Pangkajene Sidrap (Pangsid) selain secara rutin mengadakan program membaca 15 menit sebelum belajar, baru-baru ini juga menggelar pelatihan menulis berita dan fiksi untuk siswa kelas 4, 5, 6. “Agar siswa bisa memiliki ketrampilan menulis, pihak sekolah berinisiatif melaksanakan pelatihan ini dengan mendatangkan jurnalis lokal sebagai narasumber,” kata Supriadi, Kepala Sekolah.