MAKASSAR, Wartakita.id — Tahun 2025 bukanlah tahun yang ramah bagi para pemula. Bagi pemerintahan baru yang baru seumur jagung memegang kemudi pasca-pelantikan akhir 2024, tahun ini adalah sebuah “baptisan api”.
Tidak ada masa bulan madu. Transisi kekuasaan yang diharapkan mulus, langsung dihadapkan pada tembok tebal realitas: perlambatan ekonomi global dan fragmentasi geopolitik yang kian tajam.
Sepanjang 365 hari ini, kita menyaksikan bagaimana Jakarta berusaha keras menjaga keseimbangan. Di satu sisi, ada tuntutan domestik untuk segera merealisasikan janji kampanye “Keberlanjutan dan Perbaikan”. Di sisi lain, dunia luar sedang tidak baik-baik saja.
Dalam kaleidoskop ini, WartaKita merangkum perjalanan terjal politik nasional dan global sepanjang 2025 dalam tiga babak besar: Konsolidasi, Turbulensi, dan Adaptasi.
Babak I: Konsolidasi yang Berisik (Januari – April 2025)
Tiga bulan pertama 2025 ditandai dengan apa yang disebut para analis sebagai “gaduh penyusunan ulang”. Kabinet yang gemuk—gabungan antara teknokrat murni dan akomodasi politik—mulai bekerja dengan ritme yang belum sinkron.
Isu reshuffle terbatas bahkan sempat mencuat di bulan Maret ketika target pertumbuhan kuartal I meleset dari prediksi. Namun, stabilitas politik berhasil diredam berkat kuatnya koalisi di parlemen. “Super Koalisi” yang terbentuk pasca-Pemilu 2024 terbukti efektif memuluskan revisi UU Anggaran di Senayan, meski mendapat kritik tajam dari elemen sipil (Civil Society) yang merasa fungsi check and balances kian tumpul.
Sorotan utama di awal tahun adalah manuver pemerintah pusat dalam menertibkan birokrasi daerah pasca-Pilkada serentak 2024. Penyeragaman visi antara pusat dan ratusan kepala daerah baru menjadi “PR” raksasa yang memakan energi politik luar biasa besar.
Babak II: Turbulensi Geopolitik dan Efeknya ke Dapur Kita (Mei – Agustus 2025)
Memasuki pertengahan tahun, fokus terpecah ke luar negeri. Eskalasi ketegangan di Laut Cina Selatan mencapai titik didih baru pada bulan Juni 2025, ketika insiden “srempetan” kapal penjaga pantai negara tetangga dengan kapal nelayan di Natuna Utara memicu protes diplomatik keras.
Di sinilah doktrin “Bebas Aktif” Indonesia diuji. Jakarta tidak bisa lagi sekadar menjadi penonton atau mediator pasif. Tekanan dari blok Barat untuk mengambil sikap lebih tegas, beradu dengan ketergantungan ekonomi yang dalam pada blok Timur.
Dampaknya terasa langsung ke sektor riil. Gangguan rantai pasok global akibat ketegangan ini membuat harga komoditas energi melonjak. Subsidi energi kembali membengkak, memaksa pemerintah melakukan penyesuaian anggaran yang tidak populer. Demonstrasi buruh dan mahasiswa sempat mewarnai jalanan kota besar di bulan Juli, menuntut pengendalian harga pangan. Ini adalah momen kritis di mana legitimasi pemerintah diuji oleh perut rakyatnya sendiri.
Babak III: Adaptasi dan Terobosan Akhir Tahun (September – Desember 2025)
Belajar dari turbulensi pertengahan tahun, kuartal terakhir 2025 menjadi ajang pembuktian adaptabilitas. Pemerintah meluncurkan paket kebijakan “Ekonomi Kedaulatan” pada Oktober 2025, yang fokus pada penguatan industri pangan dan pertahanan dalam negeri.
Di panggung global, kehadiran Presiden Indonesia di Sidang Umum PBB dan KTT ASEAN memberikan sinyal kuat. Indonesia berhasil menginisiasi “Jakarta Framework for Regional Stability”, sebuah dokumen kesepahaman untuk meredakan ketegangan maritim di Asia Tenggara. Meski belum sempurna, inisiatif ini mengembalikan kepercayaan dunia bahwa Indonesia masihlah “Big Brother” di ASEAN.
Secara politik domestik, akhir tahun ditutup dengan disahkannya UU Transformasi Digital Nasional yang kontroversial namun dianggap perlu untuk mengatur kedaulatan data dan AI di Indonesia.
Catatan Akhir: Menatap 2026
Tahun 2025 mengajarkan kita bahwa di era interkoneksi ini, tidak ada lagi batas tegas antara “politik luar negeri” dan “politik dalam negeri”. Apa yang terjadi di Laut Cina Selatan berdampak pada harga ikan di pasar Jakarta. Apa yang diputuskan di Washington atau Beijing, mempengaruhi lapangan kerja di Karawang.
Pemerintahan baru telah berhasil melewati badai pertamanya. Kapal tidak karam, namun layar sobek di sana-sini. Tahun 2026 akan menuntut lebih dari sekadar kemampuan bertahan; ia menuntut kemampuan untuk bermanuver lebih lincah.
Jika 2025 adalah tahun “Ujian Kenaikan Kelas”, maka kita bisa berkata: Indonesia lulus, meski dengan catatan tebal di rapornya.























