Produk Bahan Bakar Original Buatan Indonesia (Bobibos) tengah menjadi sorotan publik. Diklaim mampu menurunkan emisi mendekati nol dan memiliki Research Octane Number (RON) setara 98, Bobibos berpotensi menjadi alternatif energi baru yang ramah lingkungan. Inovasi ini berbasis pada pemanfaatan jerami, limbah pertanian padi yang selama ini sering kali terabaikan.
Potensi Jerami sebagai Bahan Bakar Alternatif
Bobibos diperkenalkan pertama kali di Bogor dan sontak menarik perhatian berbagai kalangan. Keunggulan utamanya terletak pada konversi jerami, sebuah biomassa lignoselulosa yang melimpah di Indonesia, menjadi bahan bakar berkualitas tinggi. Konsep ini sejalan dengan tren global mencari sumber energi terbarukan.
Dosen Teknik Mesin dan Biosistem IPB University, Dr. Leopold Oscar Nelwan, angkat bicara mengenai aspek teknis di balik inovasi ini. Beliau menjelaskan bahwa informasi spesifik mengenai proses pembuatan Bobibos masih terbatas, namun merujuk pada literatur ilmiah, jerami diolah melalui proses konversi biomassa lignoselulosa.
Karakteristik Bahan Bakar Hidrokarbon
Penting untuk digarisbawahi, Dr. Leopold menegaskan bahwa yang dimaksud dengan bahan bakar dalam konteks ini adalah hidrokarbon. Hal ini berbeda dengan etanol atau biodiesel, sebab hanya hidrokarbon murni yang memenuhi standar komersial untuk mesin pembakaran internal.
Hidrokarbon sendiri merupakan senyawa yang terdiri dari atom karbon dan hidrogen. Senyawa ini terbagi dalam beberapa golongan, seperti parafin, isoparafin, olefin, dan aromatik. Jumlah atom karbon dalam rantai hidrokarbon sangat menentukan sifat fisik serta aplikasinya sebagai bahan bakar.
Sebagai perbandingan, bensin umumnya memiliki rentang atom karbon C5 hingga C12, sementara solar berada pada rentang C12 hingga C20. Perbedaan ini memengaruhi titik didih, viskositas, dan karakteristik pembakaran lainnya.
Jalur Konversi Menuju Hidrokarbon
Dr. Leopold memaparkan berbagai jalur konversi biomassa lignoselulosa menjadi hidrokarbon. Meskipun sebagian besar teknologi ini masih berada dalam tahap penelitian dan pengembangan, beberapa metode telah menunjukkan potensi komersialisasi.
Salah satu jalur yang paling populer adalah proses termokimia, yang mencakup gasifikasi diikuti dengan sintesis Fischer-Tropsch (FT). Metode ini mengubah biomassa menjadi gas sintetis (syngas) yang kemudian dikonversi menjadi hidrokarbon cair. Selain itu, pirolisis cepat yang menghasilkan bio-oil juga menjadi opsi, namun memerlukan tahap hydrotreating lebih lanjut untuk pemurnian.
Alternatif lain melibatkan konversi melalui hidrolisis monosakarida. Pendekatan ini bisa dilakukan secara langsung (direct sugar to hydrocarbon conversion/DSHC) atau melalui etanol sebagai perantara (alcohol to hydrocarbon). Masing-masing jalur memiliki keunikan dalam tahapannya.
Tantangan Komersialisasi dan Biaya Produksi
Dari berbagai metode konversi tersebut, gasifikasi dan sintesis Fischer-Tropsch dinilai paling mendekati tahap komersialisasi. Keunggulan proses ini adalah prinsipnya yang telah terbukti dan diterapkan dalam konversi batu bara menjadi bahan bakar cair.
Namun demikian, tantangan terbesar terletak pada kompleksitas proses dan biaya yang ditimbulkannya. Konversi biomassa menjadi hidrokarbon seringkali membutuhkan katalis khusus serta kondisi operasi dengan suhu dan tekanan tinggi. Biaya energi yang dibutuhkan untuk menjalankan proses ini juga menjadi faktor krusial.
Literatur menyebutkan bahwa biaya produksi satu liter bahan bakar melalui proses FT dari batu bara bisa mencapai US$0,8 hingga US$1,6. Angka ini bahkan bisa lebih dari empat kali lipat harga bahan baku batu baranya sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa biaya produksi dari biomassa juga diperkirakan tidak murah.
Menilik Konsep Biofuel Generasi Kedua
Konsep konversi limbah biomassa menjadi bahan bakar, seperti yang diusung Bobibos, merupakan bagian dari biofuel generasi kedua. Pendekatan ini sangat mendukung prinsip keberlanjutan dengan memanfaatkan sumber daya terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Meskipun demikian, implementasi teknologi ini secara luas masih terhambat oleh tingginya investasi awal dan biaya operasional. Klaim mengenai biaya produksi yang rendah perlu ditelaah lebih mendalam, termasuk perhitungan faktor energi, modal investasi, dan biaya pemeliharaan.
Secara potensi, teknologi konversi biomassa menjadi bahan bakar hidrokarbon akan semakin layak dan mampu bersaing apabila harga bahan bakar fosil terus meningkat atau jika ada regulasi yang membatasi penggunaannya.























