Wartakita, PALOPO – Situasi sempat menegang kemarin (25/5) saat Polisi dan TNI melakukan penyisiran dilengkapi meriam air menemukan blokade yang dibuat warga menutupi jalan Trans Sulawesi. Warga yang mengira aparat datang untuk mengeksekui lahan, bukan untuk melakukan penyisiran berbondong-bondong datang menghadang. Sempat terjadi ketegangan, namun petugas dan warga masih bisa menahan diri.
Polisi yang ingin membuka blokade jalan dan warga yang bertahan sempat memacetkan jalan Trans Sulawesi hingga beberapa kilometer dari kedua arah. Penyisiran yang dilakukan petugas keamanan tni dan polri menyingkirkan puluhan kubik batu dan kayu yang terpasang disepanjang jalan Trans Sulawesi. Ratusan kendaraan yang akan melintas dari dua arah lumpuh total selama beberapa jam.
Meski eksekusi lahan seluas 25, 5 hektar belum dilakukan namun warga tetap bertahan untuk menolak eksekusi. Menurut warga Sampoddo, Nani mengatakan bahwa mereka akan tetap bertahan meski eksekusi besok akan dilakukan.
“Apapun resikonya, kami akan tetap bertahan, meski nyawa taruhannya, karena lahan ini adalah lahan leluhur kami,” Kata salah seorang warga setelah kondisi mulai kondusif.
Bentrokan atau penolakan keputusan pengadilan pada kasus sengketa lahan dengan turun ke jalan masih jamak terjadi di negeri kita. Bukan tanpa sebab bila pintu banding ke pengadilan tinggi hingga ke Mahkamah Agung tidak menjadi pilihan pihak yang bersengketa. Saluran-saluran resmi yang mestinya bisa dipakai warga atau pihak-pihak yang bersengketa seolah tidak dilirik, pemaksaan masih menjadi pilihan utama ketimbang dialog.
Kasus sengketa lahan di Luwu Timur berbeda dengan di Sumatera Barat, di Makassar, atau di Papua, setiap daerah memiliki keunikannya masing-masing.
Di Palopo dan Luwu Timur, berdasarkan pengalaman salah seorang kontributor wartakita saat terlibat di proyek pembangunan infrastruktur jaringan listrik di Bonebone – Mangkutana, sengketa lahan memang rawan terjadi karena hubungan yang tadinya rukun dan baik antara pemilik lahan dan warga yang tinggal dan menetap di atasnya mengalami pergeseran dan sudah berganti beberapa keturunan.
Secara de-facto dan de-jure tanah-tanah dikuasai oleh beberapa orang bangsawan sejak sebelum jaman Kolonial. Setelah Belanda masuk hingga ke pedalaman Luwu, beberapa di antara mereka memiliki surat resmi bukti kepemilikan dari pemerintahan kolonial Belanda. Warga yang tinggal di atas tanah mereka dahulu adalah petani penggarap, pekerja kebun dan peternak yang berbagi hasil dengan pemilik lahan. Rukun dan saling menguntungkan.
Hingga tahun 1994, masih banyak kantor-kantor pemerintahan yang berdiri di atas tanah mereka dengan ijin pemilik lahan. Tidak sedikit yang mewakafkan tanahnya untuk dijadikan fasilitas umum, seperti jalan, sekolah, rumah ibadah dan kantor. Dan tidak sedikit warga yang tadinya diberi hak guna pakai, lalu pada keturunun ke sekian mulai merasa memiliki. Namun sepelik apapun asal saling membuka pintu dialog, tidak ada silang pendapat yang tidak bisa terselesaikan.
Bila berdasarkan temuan kontributor wartakita di kota Palopo, Amir. Penolakan warga saat ini disebabkan oleh tidak jelasnya obyek dalam amar putusan. (Amir)