Refleksi 30 Tahun AJI: Perlawanan di Tengah Disrupsi Media dan Otoritarianisme
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) merayakan ulang tahunnya yang ke-30 dengan penuh semangat perlawanan dan ketahanan, khususnya dalam menghadapi tantangan disrupsi media dan semakin menguatnya otoritarianisme di Indonesia.
Perayaan yang diadakan di Gedung Usmar Ismail, Jakarta, pada Jumat, 9 Agustus 2024, menjadi momen penting untuk merenungkan perjalanan jurnalisme di tanah air dan berbagai tantangan yang dihadapi.
Menghadapi Disrupsi Media dan Menguatnya Otoritarianisme
Ketua AJI, Nani Afrida, membuka acara dengan pidato yang menekankan pentingnya resiliensi atau ketahanan bagi jurnalis di tengah tantangan yang kian berat. “Resiliensi ini berarti kemampuan untuk menyesuaikan diri dan tetap bertahan dalam kondisi yang semakin sulit,” ujarnya. Nani menggarisbawahi bahwa jurnalis saat ini tidak hanya harus menghadapi ancaman fisik dan digital, tetapi juga tekanan dari hukum yang semakin represif.
Di tengah menguatnya otoritarianisme, kekerasan terhadap jurnalis menjadi isu yang semakin mengkhawatirkan. Selama tahun ini saja, tercatat ada 40 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis, baik dalam bentuk fisik, digital, maupun seksual. Nani menyoroti bahwa banyak dari kasus ini tidak mendapatkan keadilan yang layak, sehingga menambah panjang daftar impunitas di Indonesia.
Tidak hanya ancaman fisik, ranah hukum juga menjadi medan baru bagi otoritarianisme untuk menekan kebebasan pers. Berbagai rancangan undang-undang (RUU), seperti RUU Kepolisian, dianggap memuat pasal-pasal karet yang dapat membatasi ruang gerak jurnalis. “Jurnalis semakin sulit bekerja dalam iklim hukum yang represif,” tegas Nani.
Disrupsi Media: Tantangan Baru dalam Dunia Jurnalisme
Selain tantangan otoritarianisme, disrupsi media juga menjadi momok bagi dunia jurnalisme. Nani menjelaskan bahwa disrupsi ini tidak hanya menyebabkan penutupan banyak media massa, tetapi juga pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap jurnalis. Lebih ironis lagi, disrupsi ini juga memaksa banyak jurnalis untuk bekerja di bawah tekanan ekonomi yang tinggi, seperti dipaksa mencari iklan atau menerima gaji di bawah upah minimum.
Disrupsi media juga membawa dampak negatif terhadap kualitas jurnalisme. Dengan semakin banyaknya tekanan ekonomi, pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik menjadi lebih sering terjadi. Dalam kondisi ini, kualitas berita dan informasi yang disajikan kepada publik pun menjadi taruhannya.
Di tengah menurunnya kualitas jurnalisme, teknologi kecerdasan buatan (AI) justru semakin canggih dan mudah digunakan untuk menyebarkan informasi palsu dan hoaks. Fenomena ini menjadi tantangan besar bagi jurnalis dan media yang berupaya menjaga integritas informasi yang disampaikan kepada masyarakat.
Jalan Panjang di Depan Mata
Perayaan 30 tahun AJI ini bukan hanya menjadi ajang peringatan, tetapi juga refleksi mendalam bagi para jurnalis tentang perjalanan mereka di tengah tantangan yang semakin kompleks. AJI, dengan semangat perlawanan dan ketahanan, terus berupaya menjaga kebebasan pers dan kualitas jurnalisme di Indonesia.
Namun, jalan di depan masih panjang dan penuh tantangan. Dengan menguatnya otoritarianisme dan disrupsi media, jurnalis harus terus memperkuat ketahanan mereka, baik secara individu maupun kolektif, untuk tetap dapat menyuarakan kebenaran dan membela hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya.
Jika para penyebar hoax dan pemanipulasi informasi menggunakan teknologi AI untuk memproduksi konten-kontennya, maka para jurnalis berintegritas juga bisa menggunakan teknoologi yang sama untuk menguliti kepalsuan informasi.
Selamat ulang tahun pilar demokrasi!