Menjelang berbuka puasa di Palu tahun 2009, kami menerima kabar Garut diguncang gempa bumi, siang sekitar pukul 15.55 WITA.
Subuh menjelang sahur, beberapa baris kalimat meminta kami agar menulis, mengungkapkan apa yang kami rasakan dengan jujur, ketimbang kami ikut menambah penderita Skizophrenia di Indonesia yang jumlahnya sedang menempati tempat pertama di Asia Tenggara.
Kami memang memiliki banyak kenangan dan momen emosional dengan kota-kota di Jawa Barat.
Pernah mendaki gunung Salak via kebun raya Cibodas, semasa tinggal setahun Cipanas teratur ngeliwet hampir setiap akhir pekan di Cianjur dan Garut, ngaso di stasiun kereta Purwakarta, main hujan di Bogor, dan jatuh cinta setiap hari di Bandung.
Ikatan yang membuat kami pepuisian sebelum sahur.
N a k . . .
“Tahun ini kita lebaran tanpa baju baru..”
“Ayah tidak sanggup, bila kita berjalan ke tanah lapang dengan derap sepatu kulit baru, sementara di Tasik, Abah, Ujang dan Asep berjalan tanpa alas kaki..”
“Tahun ini kita lebaran tanpa mengecat rumah..”
“Ibumu tidak kuat mencium bau tajam cat baru plafon rumah, sementara di Garut saudara kita tidur beratapkan langit, menatap bintang, mewasapadai hujan..”
Anakku terdiam dan tersenyum mengangguk. Aku yakin dia mengerti bahwa ada baju dan rumah lebih bagus yang menantinya di atas sana.
— Dialog imajiner dengan bakal anakku yang masih tidur dalam tulang sumsum. Palu, 29 September 2009.
Gempa Garut kejadian alam ketiga yang berhasil menggetarkan kami ketika itu.
Pertama gempa dan tsunami Aceh, lalu gempa Padang. Belum tahu mengapa, padahal ada banyak kejadian alam lainnya sebelum itu di berbagai belahan bumi, tetapi hanya ketiga kejadian alam tersebut, kemudian menyusul kejadian alam keempat gempa Yogyakarta, yang berhasil membuat kami surut, mengecilkan diri lebih kecil lagi dari sekadar makhluk penghuni bumi. Kami, semua makhluk dan ciptaan lain cuma massa, materi dan energi di suatu masa.
Bagi kami, kejadian alam dan agama tidak dapat dipisahkan. Memisahkannya sama saja tidak memahami kata ‘agama’ dan hubungan manusia dengan alam.
Lebih erat lagi hubungan antara manusia dengan kejadian alam. Agama menjadi erat hubungannya dengan kejadian alam, karena ‘hanya’ manusia yang diwajibkan ‘beragama formal’. Ajaran agama Islam juga menegaskan, tidak ada paksaan dalam beragama. Kali ini ahli bahasa Indonesia lebih arif ketimbang ahli bahasa Inggris ketika memutuskan menggunakan kata ‘agama’ ketimbang ‘religion’.
Menurut kamus Cambridge, agama atau ‘religion’ termasuk kata benda: “the belief in the existence of a god or gods, and the activities that are connected with the worship of them.”
Sementara menurut bahasa Indonesia, kata ‘agama’ yang disadur dari bahasa Sansekerta, terdiri atas dua kata dan dua makna yang menjadi satu, ‘a’ berarti tidak dan ‘gama’ berarti kacau. Lebih ke kata kerja dan kata sifat, lebih menyatu ketimbang kata benda atau objek yang berjarak dengan subjek.
Agama dalam konteks arti, dan asal usul kata tidak melihat perbedaan keyakinan dan iman, semua yang membuat kekacauan, sumber, sebab, dan pelaku kekacauan dikategorikan tidak beragama.
Sebaliknya, mereka yang menjadi sumber keteraturan, keseimbangan dalam harmoni dan keadilan, adalah orang-orang yang beragama dengan baik, benar lagi indah.
Kata ‘agama’ sama sekali tidak mengandung ambisi dan keinginan mendominasi, baik dalam jumlah, ras, suku bangsa, reputasi, nasab, maupun banyaknya fakta-fakta empiris pendukung klaim keyakinan atau golongan yang paling benar, atau mendukung klaim paling banyak mendapatkan legitimasi dari Tuhan langsung, yang bukan tujuan dari beragama.
Gempa adalah kejadian alam biasa. Benar.
Namun, mereka yang belum mencapai tujuan utama beragama (agama apa pun itu) selain menjadi bagian dari keteraturan, yaitu supaya tidak menuhankan dirinya, golongannya, nasabnya, agamanya, dan manusia lain, biasanya sedang melihat kejadian alam tersebut dari wilayah dan jarak fisik juga psikis yang tidak memberi dampak langsung pada diri dan keluarganya, membenarkan gempa kejadian alam biasa, sembari lupa kalau setiap massa, materi dan energi adalah bagian dari alam semesta.
Untuk sementara, hanya manusia yang sanggup memutuskan, apakah dirinya akan menjadi bagian dari kekacauan atau keteraturan di alam semesta. Makhluk dan ciptaan lain, tanpa kebebasan berpikir dan memilih, menerima nasib dan tujuan penciptaannya begitu saja.
Satu kekacauan (ketidak-beragama-an) akan ikut mengakumulasi besaran kekacauan hingga sanggup membuat alam bereaksi menyeimbangkan kekacauan dan keteraturan, yang kemudian manusia sebut sebagai bencana. Begitu pula sebaliknya dengan keteraturan (keber-agama-an).
Kalau mau mencari bukti ilmiah bagaimana kekacauan kecil akibat laku manusia atau bukan, bisa membuat mega kekacauan, silakan cari dan baca teori ‘butterfly effect’ atau catatan percobaan Nicola Tesla di labnya, bagaimana getaran kecil yang menginterferensi getaran harmonis sebuah gelombang, sanggup menimbulkan chaos serupa gerak liar partikel Brown, sebelum atom-atom kembali tenang setelah energi potensial tersalurkan. Bom nuklir yang sedemikian dahsyat, akibat memaksa memindahkan satu elektron dari takdirnya (garis edar).
Kekacauan baru timbul dan mewujud, jika dan hanya jika ada komponen alam semesta yang melampaui batas, dalam konteks apapun. Kondisi chaos atau kacau sebagai bagian dari mencari keseimbangan baru, pasti terjadi ketika sebuah batasan terlampaui. Ada yang menganggapnya sebagai ‘ongkos’ kemajuan, upgrade kemapanan, kemampuan dan seterusnya. Wajar dan tidak akan ada yang menyalahkan, selama hanya yang ingin mencapai keseimbangan baru yang menanggung ‘ongkos’, tidak mengorbankan orang lain kecuali dirinya sendiri, mengambil risiko yang memang dia sendiri yang menanggung.
Seorang kawan penyair, melihat kejadian alam gempa dan tsunami Aceh dari sudut yang lain lagi, pendapatnya menguatkan pendapat kami, bahwa alam semesta dan penghuninya adalah satu kesatuan.
Katanya kepada kami saat akan meluncurkan buku kumpulan tulisan, “Aceh Duka Kami”, “Sebenarnya bukan orang-orang yang diguncang tsunami dan disapu gempa saja, tetapi kita semua sedang dihukum —sedang diseimbangkan—. Ratusan kilometer dari sana, aku yang dicabik-cabik ombak, dihempaskan kesana-kemari.”
Dalam ajaran agama Islam, kejadian alam yang biasa kita sebut bencana itu, digolongkan menjadi azab, ujian, dan hukuman. Kisah-kisah dalam kitab-kitab suci tentang kejadian alam luar biasa, menyebutkan dua sebab utama mengapa pembinasaan (azab) dan hukuman ditimpakan kepada manusia melalui kejadian alam.
Pertama, karena menolak meninggalkan perbuatan buruk dan yang kedua, menolak ajakan mengerjakan kebaikan. Kedua hal tersebut jika ditarik menjadi satu benang merah, kami simpulkan ada batasan yang dilampaui manusia dengan sengaja, sehingga alam harus melaksanakan sunnatullah selalu seimbang, teratur, harmonis bergerak dalam garis edar takdir.
Bumi sudah melewati banyak peristiwa luar biasa, dari zaman beku, hujan asteroid, terakhir tertimbun plastik dan diselimuti polusi sisa pembakaran. Sudah 6 milyar tahun dan bumi masih bertahan, manusia yang akan punah, sumber dan penyebab kekacauan yang akan musnah.
Saat kami mengalami kejadian alam, perahu Jolloro dihantam ombak, hujan badai dan angin kencang hingga nyaris karam semasa bekerja di pulau-pulau di sekitar pesisir pantai Sulawesi Selatan. Tidak sempat memikirkan penggolongan kejadian alam menurut sebab atau pemicu mengapa takdir tersebut mewujud, yang ada cuma ingin selamat.
Setiba di pelabuhan rakyat Kayu Bangkoa, di warung kopi kecil dekat warung ikan bakar di sana, barulah kami bisa termenung dan tepekur. Dalam diam, ada masa di mana kami merasa benar dan tidak punya salah atau dosa, kami lalu menyebut kejadian yang membuat nyawa kami bagai tergantung di seutas benang sebagai ‘ujian’, sebelum tersadar sebagian modal proyek ada yang kami pakai untuk berjudi, walaupun menang, tetap sebuah perilaku yang pantas mendapatkan hukuman. Karena masih merasa benar dan menolak disalahkan yakin tidak punya salah, padahal kami tahu pasti cuma Baginda Nabi Muhammad salallahualaihisalam yang dijamin maksum, kami merasa ini memang ujian kami, lalu diam-diam menuding ini hukuman untuk nakhoda kapal Jolloro yang menolak menurunkan harga sewa pulang-pergi kapalnya. Tidak peduli, sarannya agar melewatkan waktu magrib dulu, menunggu ombak lebih tenang. Kalau azab jelas tidak, kami berdua selamat dan hidup, tidak ada yang binasa lewat kejadian tersebut.
Menjelang kopi kami habis, baru menyadari apa pun yang barusan berlalu, azab atau hukuman, akhirnya bernilai ujian, ada batasan yang kami langgar dengan sengaja, yang kelulusannya baru akan terlihat bila kami menjadi lebih baik (menjadi bagian dari keteraturan) atau harus ujian remedial karena menjadi lebih buruk (bagian dari kekacauan).
Agak sedih ketika membaca berita beberapa ormas membuka label bantuan dari gereja dan agama lain untuk korban gempa bumi di Cianjur. Serapuh itukah iman sebagian umat Islam di sana? Sementara penganut agama lain di Indonesia sehari lima kali mendengar panggilan salat dari masjid, tidak berusaha membungkam pengeras suara masjid.
Sepengetahuan kami, hampir semua kejadian alam luar biasa di Al Qur’an, tidak ada yang dikisahkan karena perbedaan keyakinan dan iman. Hampir semua disebut karena perilaku segolongan manusia yang melampaui batas.
Wallahu’alam.