Jakarta – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mencatat peningkatan signifikan dalam jumlah utang pemerintah yang jatuh tempo mulai 2025 hingga 2027. Ini akan menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Menurut data Kemenkeu, utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2025 mencapai Rp800,33 triliun, terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp705,5 triliun dan pinjaman sebesar Rp94,83 triliun. Angka ini melonjak dibandingkan utang jatuh tempo tahun ini yang sebesar Rp434,20 triliun, dengan SBN sebesar Rp371,8 triliun dan pinjaman Rp62,49 triliun.
Utang jatuh tempo juga diperkirakan tinggi pada 2026 dan 2027, masing-masing sebesar Rp803,19 triliun dan Rp802,61 triliun. Total utang jatuh tempo selama tiga tahun tersebut mencapai Rp2405 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa kenaikan ini sebagian besar disebabkan oleh peningkatan utang untuk penanganan pandemi Covid-19. Pada masa pandemi, pemerintah membutuhkan sekitar Rp1.000 triliun untuk belanja tambahan sementara penerimaan negara menurun drastis.
Selain itu, kesepakatan burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI), yang disetujui oleh Komisi XI DPR RI, juga mempengaruhi lonjakan utang jatuh tempo. “Kita menggunakan burden sharing dengan maturitas maksimum 7 tahun, sehingga konsentrasi jatuh tempo terjadi di 2025, 2026, dan 2027,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (10/6/2024).
Sri Mulyani optimis bahwa utang jatuh tempo yang tinggi dapat dikelola dengan baik selama persepsi investor terhadap kondisi APBN, kebijakan fiskal, dan situasi ekonomi serta politik di dalam negeri tetap positif. “Kemampuan kita untuk mengelola risiko jatuh tempo, risiko mata uang, dan risiko maturitas sangat bergantung pada persepsi pasar yang baik,” jelasnya.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie Othniel Frederic Palit, menyoroti profil utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2025 sebesar Rp782 triliun, yang cukup besar dibandingkan dengan anggaran belanja negara yang direncanakan sekitar Rp3.500 triliun. Ia juga mengkritisi penarikan utang baru sebesar Rp600 triliun untuk menutup defisit anggaran yang diperkirakan mencapai 1,45% hingga 2,82% dari PDB.
Pada April 2024, posisi utang pemerintah tercatat sebesar Rp8.338,43 triliun atau 38,64% dari PDB Indonesia, meningkat dari bulan sebelumnya yang sebesar Rp8.262,10 triliun. Mayoritas utang pemerintah berasal dari dalam negeri dengan proporsi 71,18%, sesuai dengan kebijakan pembiayaan utang yang mengutamakan sumber dalam negeri.
Dengan mayoritas utang berupa SBN yang mencapai 87,94%, pemerintah juga berkontribusi pada pengembangan pasar keuangan domestik. Per akhir April 2024, lembaga keuangan memegang sekitar 43,3% SBN domestik, terdiri dari perbankan 24,5% dan perusahaan asuransi serta dana pensiun sebesar 18,8%.
Menkeu Sri Mulyani menegaskan bahwa pengelolaan utang jatuh tempo yang baik dapat dilakukan dengan menjaga persepsi positif investor terhadap kebijakan fiskal dan stabilitas ekonomi. Dengan kondisi ekonomi yang baik dan politik stabil, risiko dari utang jatuh tempo dapat diminimalisir.