Tambun, Bekasi – Sengketa lahan di Cluster Setia Mekar 2, Setiamekar, Tambun Selatan, Bekasi, kembali mencuat setelah eksekusi pengosongan dilakukan pada 27 Januari 2025. Mimi Jamilah, ahli waris sah atas tanah seluas 3.600,03 meter persegi, menegaskan bahwa kepemilikan lahan tersebut telah diputuskan secara hukum dan berkekuatan tetap (inkrah). Namun, eksekusi ini menuai protes dari penghuni cluster yang merasa prosesnya tidak adil.
Awal Mula Sengketa
Kuasa hukum Mimi Jamilah, Amiryun Aziz, menjelaskan bahwa sengketa ini berawal pada tahun 1996. Abdul Hamid, ayah Mimi, memiliki tanah tersebut berdasarkan Akta Jual Beli (AJB) dan sertifikat nomor 325. Dalam perjalanannya, Abdul Hamid meminta bantuan seseorang untuk menjual lahan ini dan menerima pembayaran sebesar Rp1,2 juta. Namun, proses jual beli terhenti, dan orang yang diberi kuasa justru menjual lahan tersebut ke pihak lain tanpa sepengetahuan Abdul Hamid.
Gugatan Hukum
Pada tahun 1996, Mimi Jamilah menggugat lima pihak di Pengadilan Negeri (PN) Bekasi: Bambang Harianto, Kayat, Doli, Tunggul, dan notaris Eskomarian Sutarno. Pada 20 Maret 1997, pengadilan menetapkan sertifikat 325 sebagai objek sengketa dan disita sebagai jaminan. Putusan ini mengembalikan kepemilikan sertifikat 325 kepada Abdul Hamid. Pihak lawan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung, namun ditolak. Proses hukum berlanjut hingga kasasi di Mahkamah Agung, yang pada 28 Oktober 1999 memperkuat putusan PN Bekasi.
Lahan Tetap Dihuni Warga
Meski telah berkekuatan hukum tetap, lahan tersebut tetap dihuni oleh warga. Pada 2019, Mimi mengajukan permohonan eksekusi pengosongan ke PN Bekasi, yang kemudian didelegasikan ke PN Cikarang. Setelah serangkaian teguran dan mediasi, eksekusi dilakukan pada Januari 2025. Aziz menyatakan bahwa pihaknya mengikuti prosedur yang ada dan memberikan ruang mediasi kepada warga.
Upaya Damai dengan Warga
Menurut Aziz, sebagian warga sepakat untuk berdamai. Dari sertifikat 704, tiga orang warga cluster telah berdamai, sementara dari sertifikat 706, delapan orang berdamai dan empat tidak. Aziz menegaskan bahwa semua proses telah sesuai aturan dan pihaknya telah memberitahu warga serta pihak kelurahan sebelum eksekusi dilakukan.
Pertemuan dengan Pengembang
Aziz mengungkapkan bahwa Abdul Bari, pemilik Cluster Setia Mekar 2, pernah menemui dirinya pada 12 Juni 2020 di Aston Bekasi untuk membahas penyelesaian sengketa tanah. Saat itu, disepakati bahwa Bari akan membayar Rp3 miliar agar tanah tersebut tidak dieksekusi. Namun, setelah pertemuan tersebut, tidak ada tindak lanjut dari pihak Bari hingga eksekusi dilakukan.
Tanggapan Abdul Bari
Abdul Bari membenarkan pertemuan di Aston tersebut. Namun, ia menolak membayar Rp3 miliar karena, menurutnya, pihak Mimi Jamilah tidak dapat membuktikan keabsahan dokumen kepemilikan. Selain itu, Sertifikat Hak Milik (SHM) 705 sudah beralih nama ke atas namanya dan proses balik nama dilakukan sesuai ketentuan ATR/BPN.
Perspektif Penghuni Cluster
Penghuni cluster yang terdampak eksekusi merasa tidak mengetahui detail sengketa sejak awal. Mereka menyayangkan bahwa eksekusi tetap dilakukan meski sebagian dari mereka tidak mengetahui detail sengketa sejak awal. Di sisi lain, Aziz menegaskan bahwa putusan hukum harus dihormati.
Kesimpulan
Kasus ini menyoroti kompleksitas sengketa lahan di Indonesia, di mana putusan hukum yang telah berkekuatan tetap masih menghadapi tantangan dalam implementasinya. Penting bagi semua pihak untuk memahami dan menghormati proses hukum yang berlaku, serta mencari solusi yang adil bagi semua pihak yang terlibat.
Kasus diatas adalah penipuan dan pemalsuan murni sebagai penyebabnya, hal ini terjadi karena hukum Indonesia TIDAK TEGAS, hukuman mati oleh Presiden akan kita tunggu pelaksanaannya.
Kejadian tersebut sudah jelas dalam beberpa hal adalah kesalahan atas kelemahan hukum dan korupnya hukum Indonesia.
1. Saat terjadi jual beli maka telah jelas dalam AJB menyebutkan juga bahwa AJB MERUPAKAN KWITANSI YANG SYAH dan Notaris tidak perlu menjadi saksi di pengadilan, karena adanya SEMA, dalam hal ini jika notaris membuatkan AJB palsu maka notaris langsung terlibat tindak pidana namun umumnya notaris wajib melihat KTP asli dari Penjual.
2. Pengadilan perlu BUKTI ASLI sertifikat no 325, sedangkan kalau sudah dipecah semuanya, maka SERTIFIKAT ASLI ini tidak ADA lagi serta tidak dapat dan tidak boleh keluar lagi dari BPN/ATR setempat sebagai arsip yang diberi tanda sudah dipecah, sedangkan sertifikat yang terpecah ada petunjuknya merupakan pecahan dari sertifiat awal atau dasar sertifikat terbit.
3. ATR/BPN setempat, Pengadilan/Hakim beserta pengugat merupakan sumber kesalahan besar, karena yang dituntut adalah pihak KETIGA yang sudah PASTI TIDAK MAU TAHU APA APA LAGI sebab sudah dijual dan uang sudah terima.
4. Jika keputusan keluar tahun 1999, maka pihak Penggugat yang telah melibatkan BPN/ATR WAJIB segera melakukan pemblokiran sertifikat TERMASUK TURUNANNYA agar tidak berlanjut lebih jauh dan pihak Penggugat WAJIB memberitahukan serta langsung menguasai Lahan sengketa BUKAN tunggu sampai saat ramai.
5. Pemalsuan tanda tangan oleh pihak yang digugat tersebut ini adalah TINDAK PIDANA dan mereka wajib mendapat hukuman serta membayar semua kerugian jika telah terbukti.
6. Pihak Abdul Bari merupakan pihak yang tidak pernah dilibatkan dalam pengadilan Perdata yang seharusnya merupakan pihak ikut tergugat dari pihak Penggugat,
Di Indonesia banyak sekali MAFIA tanah yang menjual tanah dan atau memalsukan tanda tangan orang lain yang bekerja secara kelompok, jadi orang kecil selalu tertekan dan dirugikan karena tidak dapat melawan serta tidak tahu hukum yang diperburuk dengan tidak adanya kecukupan financial yang mendukungnya
Demikian kami sampaikan untuk dapat dibahas bersama, terima kasih banyak atas ruang komentar yang diberikan.