WARTAKITA.ID, SO’E (NTT) — Matahari baru saja terbit di ufuk timur Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Udara masih dingin, kabut tipis menyelimuti hamparan kebun sayur yang menghijau. Di tengah bedeng-bedeng tomat dan sawi, seorang gadis berusia 19 tahun bernama Lodiana Lae sudah mulai bekerja. Tangannya yang mungil namun terampil memetik tomat merah yang sudah matang, memasukkannya ke dalam keranjang dengan hati-hati. Sesekali, ia mengusap keringat di dahinya dengan punggung tangan, kemudian tersenyum—sebuah senyum yang memancarkan kebanggaan.
“Saya bangga dengan diri sendiri,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Di usia yang masih muda ini, bisa menghasilkan uang sendiri untuk biaya sekolah.”
Mata Lodiana berkaca-kaca saat mengucapkan kalimat itu. Bukan karena sedih, tetapi karena bangga. Bangga bahwa di usianya yang baru 19 tahun, ia sudah mampu meringankan beban orang tuanya yang juga petani. Bangga bahwa profesi yang sering dianggap remeh oleh teman-teman seusianya—petani—justru menjadi jalan baginya untuk meraih impian: kuliah.
Dari SMP Kelas 1 Hingga Kini: Perjalanan Lodiana Bersama Tanah
Lodiana bergabung dengan Kelompok Tani Taeto pada 2019, saat ia baru duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama kelas 1. Pada usia yang masih sangat muda—sekitar 13 tahun saat itu—ia sudah harus berpikir tentang bagaimana membantu orang tuanya yang berprofesi sebagai petani dengan penghasilan pas-pasan. Banyak anak seusianya mungkin masih memikirkan game online atau serial drama Korea. Lodiana memikirkan bagaimana agar tanah bisa memberikan hasil lebih baik, agar keluarganya bisa hidup lebih layak.
Kelompok Tani Taeto, yang dibina dengan pendekatan modern dan terintegrasi, membuka mata Lodiana tentang apa itu pertanian yang sesungguhnya. Bukan sekadar menanam dan menunggu panen. Tetapi tentang pengetahuan: bagaimana memilih bibit unggul, bagaimana mengatur jarak tanam yang optimal, bagaimana memberikan pupuk dengan takaran yang tepat, bagaimana mengendalikan hama tanpa merusak lingkungan. Dan yang paling penting: bagaimana mengelola keuangan dari hasil panen agar tidak habis begitu saja.
“Dulu saya pikir bertani itu mudah. Tanam, siram, panen. Ternyata banyak sekali yang harus dipelajari,” kenangnya. “Kalau salah sedikit saja—misalnya pupuknya terlalu banyak atau terlalu sedikit—tanaman bisa mati atau hasilnya jelek. Kelompok tani mengajari saya semua itu.”
Empat Bedeng Tomat, Rp1 Juta Sekali Panen—dan Ayam yang Bertelur Emas

Kini, Lodiana memiliki empat bedeng tanaman sayur, dengan fokus utama pada tomat dan sawi. Dalam satu kali panen—yang berlangsung sekitar 2-3 bulan sekali—ia bisa mendapatkan hasil penjualan sekitar Rp1 juta. Angka yang mungkin terdengar kecil bagi orang kota, tetapi bagi seorang mahasiswa di daerah yang orang tuanya petani, angka ini sangat berarti.
Dari Rp1 juta tersebut, sebagian digunakan sebagai tambahan biaya kuliah—untuk membeli buku, membayar fotokopi, atau biaya transportasi. Sisanya, ia berikan kepada orang tuanya untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. “Bantu-bantu orang tua juga,” ujarnya dengan nada rendah hati, seolah apa yang dilakukannya adalah hal biasa, padahal tidak banyak anak seusianya yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab seperti itu.
Tetapi penghasilan Lodiana tidak berhenti di sayuran. Kelompok Tani Taeto juga mengembangkan usaha peternakan ayam petelur sebagai diversifikasi pendapatan. Lodiana, bersama anggota kelompok lainnya, mengelola kandang ayam petelur yang hasilnya dibagi secara proporsional sesuai kontribusi masing-masing anggota.
“Jadi bersyukur sekali,” katanya dengan senyum lebar. “Karena selain pemasukan dari sayur, ada juga pemasukan dari jual telur ayam, yang sebulan bisa dapat hingga Rp7 juta.”
Rp7 juta per bulan dari telur ayam. Angka yang fantastis untuk ukuran kelompok tani di daerah pedesaan. Ini adalah bukti nyata bahwa pertanian modern yang dikelola dengan baik, dengan diversifikasi produk dan manajemen keuangan yang solid, bisa menghasilkan pendapatan yang jauh lebih tinggi daripada pertanian tradisional yang hanya mengandalkan satu komoditas.
Lodiana dan Generasi Z: Wajah Baru Pertanian Indonesia
Lodiana adalah representasi dari fenomena yang sedang terjadi di Indonesia: petani Generasi Z—anak muda yang lahir setelah tahun 1997, yang tumbuh di era digital, namun memilih untuk terjun ke sektor yang sering dianggap kuno dan tidak menjanjikan: pertanian.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dari Sensus Pertanian 2023, jumlah petani milenial (usia 19-39 tahun) di Indonesia mencapai 6,18 juta orang, atau 21,93% dari total petani yang berjumlah 28,19 juta orang. Di antara angka tersebut, petani perempuan muda seperti Lodiana hanya mencakup 10,97%—atau sekitar 1,84 juta orang. Ini adalah kelompok minoritas dalam minoritas, yang sering terlupakan dalam diskusi tentang pertanian.
Namun, minoritas ini sangat penting. Perempuan petani, terutama yang muda, membawa perspektif yang berbeda. Mereka cenderung lebih terbuka terhadap inovasi, lebih mudah beradaptasi dengan teknologi baru, dan lebih peduli terhadap keberlanjutan lingkungan. Penelitian dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa ketika perempuan diberikan akses yang sama terhadap pelatihan, modal, dan teknologi pertanian, produktivitas lahan yang mereka kelola bisa meningkat hingga 20-30% dibandingkan metode tradisional.
Lodiana sendiri mengakui bahwa teman-teman seusianya sering kali meremehkan pilihannya untuk menjadi petani. “Banyak teman yang bilang, ‘Ngapain sih jadi petani? Kan susah, kotor, nggak keren,'” ceritanya. “Tapi saya tunjukkan saja hasilnya. Saya bisa kuliah dengan uang sendiri. Mereka? Masih minta jajan sama orang tua.”
Pernyataan sederhana ini sebenarnya adalah sebuah revolusi nilai. Lodiana, dengan pilihan hidupnya, sedang menantang stigma lama bahwa petani adalah profesi kelas bawah. Ia membuktikan bahwa dengan pengetahuan, teknologi, dan manajemen yang baik, pertanian bisa menjadi profesi yang bermartabat dan menguntungkan—bahkan bagi anak muda Generasi Z yang notabene lebih tertarik pada dunia digital daripada tanah.
Ekosistem yang Mendukung: Lebih dari Sekadar Pupuk Murah

Kesuksesan Lodiana tidak bisa dipisahkan dari ekosistem pendukung yang dibangun oleh Kelompok Tani Taeto, yang juga merupakan mitra dari program-program pertanian pemerintah, termasuk yang difasilitasi oleh Pupuk Indonesia melalui Program Makmur (Mari Kita Majukan Usaha Rakyat).
Program Makmur bukan hanya menyediakan pupuk bersubsidi dengan harga murah. Lebih dari itu, program ini menciptakan ekosistem pertanian terintegrasi yang mencakup:
- Akses Permodalan: Petani muda seperti Lodiana yang tergabung dalam kelompok tani mendapat akses ke pinjaman modal dengan bunga ringan untuk membeli bibit, peralatan, atau mengembangkan usaha peternakan.
- Pendampingan Teknis: Ada agronom dan penyuluh pertanian yang secara rutin mengunjungi kelompok tani, memberikan pelatihan, dan membantu memecahkan masalah teknis di lapangan.
- Akses Pasar: Salah satu kendala terbesar petani kecil adalah ketidakpastian pasar. Kelompok Tani Taeto memiliki kemitraan dengan pembeli tetap—baik pasar tradisional, supermarket, maupun platform e-commerce pertanian—yang menjamin hasil panen terserap dengan harga yang wajar.
- Asuransi Pertanian: Untuk melindungi petani dari risiko gagal panen akibat cuaca ekstrem atau serangan hama, tersedia skema asuransi yang preminya sangat terjangkau.
- Akses Teknologi: Meskipun di daerah pedesaan, Kelompok Tani Taeto sudah menggunakan aplikasi digital untuk mencatat hasil panen, menghitung biaya produksi, dan bahkan menjual produk secara online.
“Kalau dulu, setelah panen kita bingung mau jual ke mana. Kadang harganya anjlok karena semua petani panen bersamaan. Sekarang sudah ada yang membeli dengan harga tetap. Jadi kita tenang,” jelas Lodiana.
Ekosistem inilah yang membuat Lodiana—dan ribuan petani muda lainnya—tidak merasa sendirian. Mereka tahu ada sistem yang mendukung, ada jaring pengaman jika mereka gagal, dan ada jalan yang jelas untuk berkembang.
Resty, Andi, dan Ribuan Lodiana Lainnya di Seluruh Indonesia

Lodiana bukan satu-satunya. Di Kelompok Tani Taeto yang sama, ada Resty—teman Lodiana yang juga berusia muda—yang memiliki kisah serupa. Resty memiliki empat bedeng sayur dan juga terlibat dalam usaha ayam petelur. Penghasilan dari pertanian memungkinkannya untuk kuliah dan membantu keluarga.
Ada pula Andi, seorang pemuda 25 tahun yang bergabung dengan kelompok sejak 2019. Dalam waktu kurang dari enam tahun, Andi tidak hanya bisa membiayai istrinya yang kuliah, tetapi juga membangun rumah layak huni dari hasil bertani. “Dulu saya nggak punya apa-apa. Sekarang punya rumah sendiri, istri bisa kuliah. Semua dari tangan sendiri, dari tanah,” ujarnya dengan bangga.
Kisah-kisah seperti ini bukan anomali. Data dari Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa Program Makmur telah menjangkau lebih dari 170.000 petani di lahan seluas lebih dari 451.000 hektar hingga akhir 2024. Di antara angka tersebut, ada ribuan Lodiana, Resty, dan Andi—anak-anak muda yang membuktikan bahwa pertanian bisa menjadi jalan menuju kehidupan yang lebih baik.
Di Jawa Barat, Kamaludin dari Ciamis berhasil meningkatkan keuntungannya hingga puluhan juta rupiah per musim tanam. Di Jember, Jawa Timur, Sucipto yang sebelumnya terlilit utang kini menikmati hasil panen yang melimpah. Di berbagai pelosok Indonesia, ada generasi muda yang sedang menulis ulang narasi tentang pertanian—dari profesi yang dihindari menjadi profesi yang dibanggakan.
Tantangan: Bukan Jalan yang Mulus
Namun, perjalanan Lodiana dan petani muda lainnya bukan tanpa tantangan. Cuaca yang semakin tidak menentu akibat perubahan iklim menjadi ancaman nyata. “Kadang hujan terlalu deras, tanaman busuk. Kadang kemarau terlalu panjang, tanaman layu. Kita harus terus belajar beradaptasi,” ungkap Lodiana.
Selain itu, stigma sosial masih menjadi beban psikologis. Banyak orang tua yang tidak mendukung anak mereka terjun ke pertanian karena menganggapnya tidak memiliki masa depan cerah. Banyak anak muda yang malu mengaku sebagai petani di depan teman-temannya. Ini adalah hambatan budaya yang tidak mudah diatasi, meskipun bukti empiris menunjukkan sebaliknya.
Ada pula tantangan infrastruktur. Di banyak daerah pedesaan, akses jalan yang buruk membuat biaya transportasi hasil panen menjadi sangat mahal. Jaringan internet yang lemah menghambat adopsi teknologi digital. Akses ke listrik yang tidak stabil membuat sulit untuk mengembangkan usaha peternakan atau pengolahan pascapanen yang membutuhkan refrigerasi.
Pemerintah, melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian Pekerjaan Umum, sedang berupaya mengatasi hambatan-hambatan ini. Program Petani Milenial, yang diluncurkan dengan dukungan dana Rp30 triliun, menargetkan untuk mencetak 100.000 petani milenial di 10 provinsi dengan memberikan pelatihan, modal, akses teknologi, dan kemitraan pasar. Hingga saat ini, sudah ada lebih dari 23.000 orang yang mendaftar, dan 3.000 di antaranya sudah aktif di lapangan.
Harapan Lodiana: Ingin Jadi Pengusaha Agribisnis
Ketika ditanya tentang masa depan, mata Lodiana berbinar. “Saya ingin lulus kuliah, dapat pekerjaan yang baik. Tapi saya tidak akan meninggalkan pertanian,” katanya tegas. “Saya ingin mengembangkan usaha ini, mungkin jadi pengusaha agribisnis. Punya kebun yang lebih luas, punya banyak karyawan, dan bisa membantu petani lain juga.”
Impian Lodiana adalah impian dari generasi baru petani Indonesia: tidak lagi sekadar bertahan hidup dari bertani, tetapi berkembang dari bertani. Tidak lagi menjadi petani yang pasrah terhadap nasib, tetapi menjadi petani-pengusaha yang mengendalikan nasibnya sendiri.
“Saya ingin buktikan bahwa petani itu bisa sukses. Petani itu bisa kaya. Petani itu keren,” ujarnya dengan penuh keyakinan. “Apalagi sekarang, dengan harga pupuk yang turun 20%, biaya produksi kita lebih ringan. Keuntungan bisa lebih besar. Ini kesempatan bagus untuk petani muda seperti saya.”
Pernyataan Lodiana tentang penurunan harga pupuk menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah—sekecil apapun—bisa memiliki dampak nyata di tingkat petani. Penurunan HET 20% yang diumumkan pada 22 Oktober 2025 bukan hanya angka statistik; bagi Lodiana, itu berarti penghematan sekitar Rp100.000-200.000 per musim tanam—uang yang bisa digunakan untuk membeli bibit lebih baik, atau ditabung untuk mengembangkan usaha peternakan.
Melampaui Gender: Lodiana sebagai Simbol Kesetaraan
Sebagai perempuan petani muda, Lodiana juga menjadi simbol penting dari gerakan kesetaraan gender di sektor pertanian. Selama ini, pertanian sering dianggap sebagai domain laki-laki. Perempuan, jika terlibat, hanya sebagai “pembantu” atau “buruh tani,” bukan sebagai pengambil keputusan atau pemilik usaha.
Namun, Lodiana dan perempuan muda lainnya sedang mengubah narasi ini. Mereka adalah pemilik lahan, pengelola usaha, dan pengambil keputusan. Mereka tidak menunggu laki-laki untuk memberitahu apa yang harus dilakukan; mereka belajar sendiri, berinovasi sendiri, dan membangun usaha sendiri.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA) telah menandatangani nota kesepahaman dengan Kementerian Pertanian untuk meningkatkan efektivitas pengarusutamaan gender di bidang pertanian. Salah satu fokusnya adalah memastikan perempuan memiliki akses yang setara terhadap pelatihan, modal, teknologi, dan pasar. “Kesepakatan ini merupakan langkah awal untuk mengembangkan mekanisme dan sistem perencanaan yang responsif gender di Kementerian Pertanian,” ujar perwakilan KPP-PA.
Program-program seperti ini memberikan harapan bahwa Lodiana bukan akan menjadi pengecualian, tetapi akan menjadi norma baru—bahwa perempuan muda yang berdaya, mandiri, dan sukses di sektor pertanian akan semakin banyak di masa depan.
Pesan untuk Generasi Muda: Jangan Malu Jadi Petani
Di penghujung wawancara, Lodiana ingin menyampaikan pesan kepada anak-anak muda seumurannya yang mungkin sedang bingung mencari jalan hidup.
“Jangan malu jadi petani. Ini bukan profesi yang memalukan. Justru ini profesi yang mulia, karena kita memberi makan orang banyak. Dan yang paling penting: ini profesi yang bisa bikin kita sukses, kalau kita mau serius dan terus belajar.”
Ia berhenti sejenak, menatap hamparan bedeng sayurnya yang hijau subur. “Liat nih,” katanya sambil menunjuk ke kebunnya. “Ini semua hasil kerja keras saya. Tidak ada yang kasih gratis. Dan saya bangga dengan itu. Saya bangga jadi petani.”
Saat matahari mulai naik lebih tinggi, Lodiana kembali ke pekerjaannya—memetik tomat, merawat tanaman, memberi makan ayam. Tangan mungilnya yang penuh tanah adalah tangan yang sedang membangun masa depan. Bukan hanya masa depannya sendiri, tetapi juga masa depan ketahanan pangan Indonesia.
Karena jika ada ribuan, atau bahkan puluhan ribu Lodiana di seluruh Indonesia—anak-anak muda yang memilih terjun ke pertanian dengan pengetahuan, teknologi, dan semangat kewirausahaan—maka kedaulatan pangan bukan lagi sekadar slogan. Itu akan menjadi kenyataan. Kenyataan yang dibangun oleh tangan-tangan muda yang tidak takut kotor, tidak malu berkeringat, dan tidak ragu untuk membuktikan bahwa petani adalah profesi masa depan.
***
Catatan Penulis: Artikel ini ditulis berdasarkan kumpulan wawancara langsung dengan Lodiana Lae dan anggota Kelompok Tani Taeto di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, yang dapat kami akses secara daring, serta data dari Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian. Kisah ini adalah representasi dari ribuan petani muda Indonesia yang sedang bertransformasi menjadi pelaku agribisnis modern. Data tentang Program Makmur (170.000+ petani, 451.000+ hektar) bersumber dari PT Pupuk Indonesia (Persero) per akhir 2024.

























