Wartakita.id, MAKASSAR – Festival Aksara Lontaraq (Falaq) II tahun 2021, fokus pada upaya aktualisasi nilai-nilai budaya dan aksara lontaraq menjadi Peraturan Daerah Aksara Lontaraq. Hal tersebut dibahas dalam seminar yang digelar Jumat (27/08/2021), di Layanan Perpustakan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan.
Sebanyak 11 bahasa daerah di Indonesia punah berdasarkan catatan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Maluku menjadi daerah yang paling banyak kehilangan bahasa daerah yaitu sebanyak 9 bahasa. Dua bahasa lainnya berasal dari Papua Barat dan Papua. Adapun bahasa daerah yang punah yaitu Bahasa Tandia (Papua Barat), Bahasa Mawes (Papua), Bahasa Kajeli/ Kayeli (Maluku), Bahasa Piru (Maluku), Bahasa Moksela (Maluku), Bahasa Palumata (Maluku), Bahasa Ternateno (Maluku Utara), Bahasa Hukumina (Maluku), Bahasa Hoti (Maluku), Bahasa Serua (Maluku), dan Bahasa Nila (Maluku).
Seminar bertema Mewujudkan Ranperda Aksara Lontaraq sebagai Penguatan Warisan Literasi Sulawesi Selatan ini menghadirkan pembicara pakar filologi dan naskah La Galigo Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Nurhayati Rahman, M.S., Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sulsel, Hasan Sijaya, S.H., M.H., Kepala Perpustakaan Nasional RI Drs. Muhammad Syarief Bando, M.M., Ketua DPRD Sulawesi Selatan, Andi Ina Kartika Sari, S.H., M.Si., dan Plt Gubernur Sulawesi Selatan yang diwakili Asisten Administrasi Provinsi Sulsel, Tautoto Tana Ranggina Sarongallo.
Seminar ini dipandu moderator Rusdin Tompo seorang pegiat literasi dan juga penulis buku di Sulawesi Selatan.
Hadir dalam acara ini antara lain Yudistira Sukatanya, Kurator Festival Aksara Lontaraq, Syahriar Tato, akademisi dari Unhas Dr. Supa Atha’na, Dr. Ery Iswari, akademisi dari Universitas Negeri Makassar, Prof. Kembong Daeng, juga beberapa budayawan dari berbagai latar belakang daerah yang secara khusus datang ke Makassar.
Di antaranya, pembaca sastra daerah Dr. Suradi Yasil membaca sastra Kalindaqda dari Mandar, Syaril Daeng Nassa membaca sastra Makassar Kelong, Yuddin dari Kabupaten Bone membaca sastra Bugis Massureq.
Panitia pelaksana, Upi Asmaradhana yang juga merupakan penggagas Festival Aksara Lontaraq mengungkapkan, kegiatan ini digelar sebagai bentuk menjaga warisan artefak terbaik Sulawesi Selatan yaitu aksara lontaraq.
“Dalam sejarahnya tidak banyak bangsa di Dunia yang memiliki aksara dan aksara lontaraq menjadi tanggung jawab kita bersama semua sehingga kita harapkan festival yang kita lakukan setiap tahun ini akan menjadi bagian dari upaya penyelamatan warisan dan nilai-nilai luhur masyarakat Sulsel,” ungkapnya.
Ia manambahkan, ini merupakan seminar aksara lontaraq yang kedua, di mana pada 2020 lalu, juga dilakukan seminar internasional aksara lontaraq yang dihadiri 11 negara dan diikuti 1.865 perserta.
“Tahun ini fokus pada Perda semua aktivitas dan kegiatan kita serahkan kepada DPRD Sulsel dan Pak Gubernur untuk mengawal rekomendasi tahun lalu. Agar Perda aksara lontaraq itu bisa terwujud,” katanya.
“Kita bermimpi saat seseorang masuk ke Sulsel yang pertama dia baca di ucapan selamat datang itu adalah tulisan akasara lontaraq. Kita masuk di ruang perpustakaan, ruang pemerintah yang ada aksara lontaraq. Maka orang-orang akan bangga dengan kebudayaannya sendiri dan orang-orang mau hidup untuk warisan leluhurnya,” pungkasnya.
Plt Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiaman, dalam sambutannya yang dibacakan oleh Asisten Administrasi, Tautoto Tana Ranggina Sarongallo, mengatakan Pemerintah Provinsi Sulsel mendukung penuh segala upaya pelestarian warisan budaya Sulawesi Selatan salah satunya aksara lontaraq.
“Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sangat mendukung terlaksananya seminar ini, guna menghasilkan rumusan Ranperda Aksara Lontaraq. Sekali lagi Pemerintah Sulawesi Selatan sangat mendukung seminar yang digelar ini sebagai salah satu cara memelihara dan melestarikan aksara lontaraq sebagai warisan budaya masyarakat Sulawesi Selatan,” tegasnya.
Ketua DPRD Sulawesi Selatan, Andi Ina Kartika Sari, mengatakan Festival Aksara Lontaraq merupakan sebuah kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan. Sebagai Ketua DPRD ia memberi apresiasi dan mengatakan Ranperda Aksara Lontaraq akan menjadi tugas bersama mewujudkannya.
“Ranpeda ini adalah hal yang bisa menjadi bagian tugas sejarah dalam menjaga warisan budaya leluhur. Kami siap mengawalnya,” kata Andi Ina yang tampil dengan busana adat daerah.
Andi Ina juga mengatakan, pihaknya akan membantu panitia agar Ranperda Aksara Lontaraq bisa menjadi agenda pembahasan pada 2022 mendatang. Sehingga pada festival berikutnya lontaraq sudah menjadi Perda di Sulsel.
Prof. Nurhayati Rahman yang berbicara soal sejarah aksara lontaraq menilai, sudah saatnya masyarakat Sulsel bersatu padu memajukan lontaraq. “Sudah saatnya kita menepis segala perbedaan-perbedaan untuk menjaga dan melestarikan Aksara Lontaraq,” ujar penulis I La Galigo ini.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulsel, Moh. Hasan Sijaya yang menjadi tuan rumah acara Falaq berharap lontaraq menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat Sulawesi Selatan. Sudah saatnya lontaraq menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. “Kami sangat mendukung terciptanya Perda Aksara Lontaraq. Ia akan menjadi ciri khas dan kebanggan kita bersama,” kata Hasan Sijaya.
Sejumlah penanya dan penanggap juga banyak yang merespon posiitf Perda Lontaraq tersebut.
Di sela-sela seminar ini juga dilakukan penyerahan buku Prof. Kembong Daeng kepada Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sulsel, Moh. Hasan Sijaya.
Diketahui, seminar nasional ini merupakan salah satu dari kegiatan Falaq yang digelar sejak Rabu (25/8/2021) lalu. Selain seminar, juga digelar lomba mewarnai aksara lontaraq bagi anak-anak usia dini, pameran naskah kuno lontaraq, lomba lagu daerah, pementasan baca puisi empat etnik, dan pemilihan duta lontaraq 2021. (*)