Sekitar tahun 90-an ketika pengguna, dan pengedar Extacy di Indonesia mulai tertangkap dan terekspose media, bukan hanya BNN, dan BPOM yang harus perbaharui daftar obat dan zat aditif terlarang, kami pun harus memperbaharui kosa kata, dan mungkin pengalaman.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): ekstase/eks·ta·se/ /ékstase/ n keadaan di luar kesadaran diri (seperti keadaan orang yang sedang khusyuk bersemadi).
Berita terkini dari kepala BNN Komjen Buwas: temuan sebuah pesantren yang dari Kiai hingga santrinya menggunakan extacy untuk dzikir tidak begitu mengejutkan, bersesuaian dengan pemaknaan kata ekstase (asal kata extacy) menurut KBBI. Jangan lupakan ada kata ‘seperti’ di awal penjelasan arti kata ekstase di KBBI.
Masih di tahun yang sama (90an) belum lama setelah berita ‘ratu extacy’ memenuhi halaman koran, siaran radio dan televisi, tanpa rencana, dijebak tepatnya, akhirnya merasakan bagaimana rasanya extase artifisial (atau seperti ekstase).
Seorang kawan diam-diam mencelupkan satu butir jenis ‘pink lady’ ke dalam cangkir kopiku. Bentuknya bagaimana, apakah warna pilnya memang pink, jangan tanya. Kawanku tergelak sambil menjelaskan efek ‘pink lady’ mestinya membuat ‘horny’ malah membuatku ngoceh sepanjang malam di warung kopi tepi Losari.
Pengalaman yang berguna untuk memahami mengapa extacy bisa ‘masuk’ di lingkungan pesantren dan digunakan untuk beribadah (dzikir), seperti kabar terbaru dari BNN.
Tegukan kopi pertama, belum terasa efeknya. Tegukan kedua seolah sakelar ON/OFF yang tadinya OFF kini ON, ada semacam aliran listrik yang mengalir deras dari tulang sumsum, ke batang leher terus ke batang otak. Mirip ‘dingg’ garpu tala yang diketok ke tengkorak kepala. Sampai di sini belum sadari bahwa ada sesuatu dalam cangkir kopiku. Efek ON nya mirip minum expresso double shot sekali teguk. Leher jadi ringan, mata terbelalak, dan lekuk lipat otak semua seolah teraliri darah dan terasa.
“Hati kangkung, mirip!” Ocehku.
“Apa hati kangkung?” Tanya kawanku keheranan.
Hati kangkung, istilah yang digunakan oleh seorang sepuh yang sering nongkrong sejak pagi di setiap hari jum’at di Masjid Al Markaz sejak pertama diresmikan (masih tahun 90an). Perawakannya kecil, janggutnya yang memutih melewati leher. Sudah lupa bagaimana prosesnya hingga bisa bertemu beliau dan dituturkan tentang ibadah yang khusyuk itu harus dengan hati. Hati yang begitu suci hingga di dalamnya bisa terbangun ‘Baitullah’ dan hati kangkung menjadi jalan tol menuju khusyuk. Ketika kutanyakan bagaimana dan apa itu hati kangkung, beliau terkekeh-kekeh tidak menjawab.
Esoknya kutunggui ibu pulang dari pasar, menunggui seikat sayur kangkung untuk kuamati. Secara fisik dari ujung daun sampai ujung akar, satu batang utuh sayur kangkung mirip jaringan saraf atau pembuluh darah di tubuh manusia yang menyatu di tulang belakang (backbone) menyebar ke seluruh tubuh.
“Ekstasi bisa membangunkan hati kangkung atau jejaring syaraf dan darah siap untuk digunakan menuju khusyuk, tapi hati yang dalam dada tidak mau jalan melewati jalan tol yang kini siap dilalui.”
“Nggak ngerti kamu ngomong apa, tapi ngoceh saja. Begini lebih baik.” Timpal kawanku sambil geleng-geleng ikuti dentuman musik tekno ketukan 4/4 mirip ketukan irama dzikir.
“Cara ini terbalik dan tidak sehat. Bila kendaraanmu siap, hati sanubari yang merindu, cinta yang tidak peduli ada jalan tol atau semak belukar, sungai, jurang, tebing, lumpur. Semua akan diterjangnya tanpa merusak dan terusak, menuju pulang.”