Paparan timbal berdampak buruk bagi kesehatan mengintai anak-anak. Kadar timbal pada darah yang berbahaya ditemukan pada sebagian anak. Paparab timbal ini juga bisa mengganggu tumbuh kembang anak, demikian yang kami kutip dari kompas.com
Demikian hasil kajian Pusat Riset Kesehatan Lingkungan dan Okupasi Indonesian Medical Education and Research Institute Universitas Indonesia (IMERI UI) bersama dengan Yayasan Pure Earth Indonesia.
Kajian itu menyebutkan, 89 persen dari 564 anak memiliki kadar timbal pada darah yang melebihi ambang batas aman yang ditetapkan oleh WHO sebesar 5 mikrogram per desiliter. Bahkan, 4 persen memiliki kadar timbal darah yang harus mendapatkan terapi, yakni lebih dari 45 mikrogram per desiliter.
Ketua Kluster Pusat Penelitian Kesehatan Lingkungan dan Okupasi IMERI Dewi Yunia Fitriani menyampaikan hal itu, dalam konferensi pers ”Hasil Kajian Dampak Kesehatan Pajanan Timbal pada Anak dan Dewasa” di Jakarta, Rabu (10/1/2024).
Dewi Yunia menyatakan, tingginya kadar timbal darah pada anak-anak yang menjadi subyek riset berkorelasi dengan pajanan di lingkungan sekitarnya berasal dari tanah dan debu. Selain itu ada hubungan signifikan kadar timbal darah pada ayah dan anak.
Paparan timbal bisa terjadi karena pekerjaan ayahnya tinggi paparan timbal. Beberapa rumah digunakan untuk mengumpulkan barang-barang mengandung timbal seperti kaleng bekas,” katanya.
Kampanye bahaya timbal di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Amir Hamzah, Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (28/10/2021). Dewi menyampaikan, timbal bisa ditemukan di udara, tanah, dan air. Pada kajian yang dilakukan lebih banyak ditemukan kadar timbal pada tanah. Anak-anak pun menjadi lebih rentan terpapar timbal karena anak-anak sangat mudah memasukkan tangan ke dalam mulut.
Sementara, sebagian besar anak-anak yang diteliti banyak bermain dan beraktivitas di tanah. Sebagian rumah dari penduduk juga masih beralaskan tanah.
Adapun kajian dilakukan di lima wilayah, yakni Desa Kadu Jaya Tangerang, Desa Cinangka Bogor, Desa Cinangneng Bogor, Desa Pesarean Tegal, dan Desa Dupak Surabaya.
Dari wilayah yang dipilih tersebut terdapat desa remediasi (pemulihan kontaminasi) dari paparan aki bekas. Ada pula desa yang ditemukan banyak warga bekerja mengumpulkan barang bekas, terutama kaleng bekas serta ada yang di dekat jalan raya.
Sebanyak 89 persen dari 564 anak memiliki kadar timbal pada darah yang melebihi ambang batas aman yang ditetapkan oleh WHO sebesar 5 mikrogram per desiliter.
Dokter spesialis anak yang juga peneliti di Pusat Riset Kesehatan Lingkungan dan Okupasi IMERI UI Ari Prayogo menjelaskan, tidak ada konsentrasi timbal dalam darah yang aman.
Paparan timbal bisa berdampak buruk bagi kesehatan serta tumbuh kembang anak. Timbal dapat menyebabkan penurunan kecerdasan, gangguan perilaku, dan masalah belajar.
Anak yang terpapar timbal bisa berisiko jangka panjang mengalami tekanan darah tinggi, penyakit jantung, gangguan ginjal, gangguan imunitas, serta gangguan sistem reproduksi.
Selain itu paparan timbal berisiko menyebabkan anemia. Timbal yang berada dalam tubuh dapat mengganggu pembentukan sel darah merah. Hal tersebut akhirnya bisa menyebabkan terjadinya anemia pada anak.
Dalam kajian Pusat Riset Kesehatan Lingkungan dan Okupasi IMERI UI dan Yayasan Pure Earth Indonesia juga mengungkapkan anak dengan kadar timbal darah lebih dari 20 mikrogram per desiliter disertai kondisi anemia. Sebanyak 14 persen di antaranya ditemukan mengalami keterlambatan tumbuh kembang.
Petugas kesehatan mengambil sampel darah Ridho (12), anak penderita gangguan mental, di Desa Cinangka, Kabupaten Bogor, Kamis (20/9/2018). Gangguan mental yang dialami Ridho diduga salah satunya dipicu tingginya kadar timbal di lingkungan sekitarnya.
”Anak yang memiliki kadar timbal darah lebih dari 20 mikrogram per desiliter dengan anemia akan berisiko empat kali lipat mengalami keterlambatan tumbuh kembang,” kata Ari.
Pencegahan
Staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Marinda Asiah Nuril Haya, menuturkan, risiko paparan timbal yang tinggi pada anak belum disertai kesadaran dan pemahaman baik di masyarakat.
Sebagian masyarakat tidak mengetahui apakah lingkungannya berisiko terhadap pajanan timbal. Kesadaran warga untuk meminimalkan pajanan timbal juga masih rendah.
Dari kajian di lapangan ditemukan banyak pekerja skala kecil yang berisiko terpapar langsung peralatan berbahan timbal tidak menggunakan alat pelindung diri.Para pekerja tersebut juga biasanya tidak langsung mengganti pakaian yang digunakan. Padahal, paparan timbal yang menempel di baju bisa berisiko terhirup atau bersinggungan dengan anak-anak di rumah.
Karena itu, Marinda menyampaikan, kesadaran masyarakat akan bahaya paparan dan pajanan timbal harus ditingkatkan.
Masyarakat harus diajak untuk lebih sadar menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat antara lain dengan mencuci tangan sebelum makan, dan menggunakan alas kaki saat bermain di luar rumah.
Selain itu, warga dianjurkan berganti pakaian selepas bekerja bagi orangtua yang akan bertemu dengan anak di rumah, serta selalu memastikan anak mendapatkan gizi seimbang.
Cetakan yang digunakan untuk menampung hasil peleburan aki bekas, berserakan di lokasi peleburan aki bekas ilegal di Kampung Janada Inpres, Desa Jagabaya, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Senin (20/8/2018).
Direktur Yayasan Pure Earth Indonesia Budi Susilorini mengatakan, tingginya kadar timbal yang ditemukan dari hasil kajian antara IMERI UI dan Yayasan Pure Earth menunjukkan penanganan timbal di masyarakat semakin mendesak.
Kontaminasi timbal di lingkungan serta dampak buruk bagi kesehatan mendorong semua pemangku kepentingan untuk melakukan penanganan dan pencegahan. ”Kami harap riset ini berlanjut jadi program surveilans nasional,” ujarnya.
Sebelumnya, hasil dari studi ”Rapid Market Screening (RMS)” Pure Earth pada lebih dari 5.000 sampel barang konsumsi dan produk makanan di 25 negara berpenghasilan rendah dan menengah menemukan tingkat prevalensi kandungan timbal yang melebihi baku mutu.
Kandungan tinggi tersebut ditemukan antara lain di peralatan makan berbahan logam (52 persen), peralatan makan keramik (45 persen), berbagai jenis cat (11 hingga 48 persen), mainan (13 persen ), dan kosmetik (12 persen).