Di penghujung tahun, Senayan mengetuk palu untuk Undang-Undang Transformasi Digital Nasional. Regulasi sapu jagat ini hadir sebagai respons atas maraknya kebocoran data dan dominasi AI asing yang tak terkendali sepanjang 2024-2025.
Poin positifnya jelas: kewajiban lokalisasi pusat data bagi platform AI raksasa dan sanksi denda yang mencekik bagi korporasi yang lalai menjaga data pengguna. Pemerintah berargumen, tanpa UU ini, Indonesia hanya akan menjadi “sapi perah” data bagi raksasa teknologi global.
Namun, pasal-pasal karet tentang “pengawasan konten yang mengancam stabilitas digital” memicu alarm bagi aktivis hak sipil. Kekhawatiran bahwa UU ini bisa digunakan untuk membungkam kritik di media sosial menjadi bayang-bayang gelap.
Tahun 2025 menjadi tahun di mana kita menyadari bahwa data adalah minyak baru, dan kedaulatan digital adalah bentuk nasionalisme baru. Pertanyaannya, apakah harga yang kita bayar—potensi tergerusnya privasi—sepadan dengan keamanan yang dijanjikan?























