MAKASSAR, Wartakita.id — Di ujung Jembatan Centre Point of Indonesia (CPI), angin Selat Makassar berhembus kencang, membawa aroma garam yang bercampur dengan deru mesin pembangunan. Tahun 2025, bagi Provinsi Sulawesi Selatan, adalah tahun pembuktian. Tahun di mana frasa “Gerbang Indonesia Timur” bukan lagi sekadar slogan di spanduk pemerintah, melainkan realitas fisik yang berdenyut nadi.
Sepanjang 365 hari ini, kita menyaksikan bagaimana provinsi ini “berlari” lebih kencang dari sebagian besar wilayah lain di Nusantara. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Sulsel di Triwulan III 2025 menyentuh angka 6,2% (yoy)—jauh di atas rata-rata nasional.
Namun, seperti perahu Phinisi yang gagah membelah ombak, laju kencang ini bukan tanpa guncangan. Di balik angka-angka statistik yang memukau, tersimpan residu masalah sosial dan ekologi yang kian pekat.
WartaKita merangkum perjalanan Sulawesi Selatan sepanjang 2025 dalam sebuah kaleidoskop: antara ambisi menjadi pusat logistik global dan perjuangan menjaga napas bumi serta manusianya.
Babak I: Konektivitas yang Mengubah Peta (Januari – April)
Awal tahun 2025 dibuka dengan sejarah baru. Sirine panjang berbunyi di Stasiun Mandai pada bulan Februari, menandai beroperasinya secara penuh jalur Kereta Api Trans Sulawesi segmen Makassar-Parepare yang kini terintegrasi langsung dengan Makassar New Port (MNP).
Ini adalah game changer. Selama puluhan tahun, logistik di Sulsel tercekik oleh kemacetan jalan poros Maros-Makassar. Kini, kontainer semen dari Pangkep dan hasil bumi dari Barru meluncur mulus via rel langsung ke lambung kapal raksasa di MNP.
“Efisiensi logistik kita membaik 30% tahun ini,” ujar Ketua Kadin Sulsel dalam sebuah forum bisnis bulan Maret. Dampaknya terasa instan: Pelabuhan Makassar mencatat rekor dwelling time terpendek dalam sejarahnya.
Namun, konektivitas ini membawa ironi. Sementara barang bergerak cepat, manusia di Kota Makassar justru makin lambat. Kemacetan di jalan arteri Pettarani dan Perintis Kemerdekaan mencapai titik jenuh baru pada bulan April, diperparah dengan banjir rob yang kini menjadi tamu bulanan, bukan lagi tahunan.
Babak II: Politik Pasca-Pilkada dan Stabilitas Semu (Mei – Agustus)
Memasuki pertengahan tahun, debu pertarungan Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2024 mulai mengendap. Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih yang dilantik awal 2025 mulai menapaki bulan-bulan pertama pemerintahan mereka dengan hati-hati.
Tahun 2025 adalah tahun konsolidasi birokrasi. Isu “bersih-bersih” pejabat titipan rezim lama mewarnai headline koran lokal. Namun, yang patut diapresiasi adalah stabilitas keamanan. Berbeda dengan dekade lalu di mana demonstrasi mahasiswa sering berujung bentrok fisik masif, tahun 2025 diwarnai dengan aksi protes yang lebih substansial dan digital.
Meski demikian, “teror busur” dan kenakalan remaja (geng motor) kembali menghantui lorong-lorong kota di bulan Juni dan Juli. Ini menjadi tamparan keras bagi aparat kepolisian dan Pemprov. Ternyata, pembangunan megah Center Point of Indonesia tidak serta merta menyentuh anak-anak muda yang terpinggirkan di Utara kota. Kesenjangan sosial ini adalah bom waktu yang masih berdetak.
Babak III: Emas Hijau dan Tanah Merah (September – November)
Kuartal ketiga 2025 adalah milik Luwu Timur dan Morowali (di perbatasan). Hilirisasi nikel yang digenjot pemerintah pusat mencapai puncaknya. Pabrik-pabrik smelter baru beroperasi, menyerap ribuan tenaga kerja lokal dan asing.
Ekonomi daerah lingkar tambang meledak. Sorowako dan Malili berubah menjadi kota metropolitan kecil dengan biaya hidup setara Jakarta. Namun, bulan Oktober membawa kabar buruk: laporan investigasi lingkungan menunjukkan penurunan kualitas air Danau Matano dan pesisir Luwu yang mengkhawatirkan.
Petani merica dan nelayan rumput laut berteriak. Mereka adalah korban yang tidak tertulis dalam laporan laba rugi perusahaan tambang. Di tahun 2025, Sulsel dihadapkan pada dilema klasik: memilih devisa nikel atau kelestarian ekologi? Pemerintah Provinsi tampak masih gamang, mencoba berdiri di dua kaki yang kian goyah.
Babak IV: Kebangkitan Wisata dan Identitas Budaya (Desember)
Menutup tahun, angin segar datang dari Toraja dan Bulukumba. Bandara Buntu Kunik di Tana Toraja akhirnya melayani penerbangan internasional langsung (charter) dari Singapura, membuka keran wisman yang sempat mampet. Festival “Lovely December” 2025 digelar dengan kemasan yang jauh lebih modern, memadukan ritual Rambu Solo dengan seni instalasi digital.
Di selatan, Bira bukan lagi sekadar destinasi “pantai pasir putih”. Tahun 2025 menandai bangkitnya industri kapal Phinisi yang kini banjir pesanan untuk liveaboard wisata premium Labuan Bajo dan Raja Ampat. Para Panrita Lopi (ahli pembuat kapal) di Tanah Beru kembali sibuk.
Epilog: Phinisi yang Terus Berlayar
Menatap 2026, Sulawesi Selatan berdiri di persimpangan.
Infrastruktur fisik sudah terbangun kokoh. Pelabuhan kita megah, rel kereta kita panjang. Namun, pekerjaan rumah terbesar di tahun depan adalah membangun manusianya dan merawat alamnya.
Apakah kita akan membiarkan Makassar tenggelam oleh banjir rob demi mengejar properti tepi pantai? Apakah kita akan membiarkan Danau Matano keruh demi baterai kendaraan listrik dunia?
Tahun 2025 mengajarkan kita bahwa kemajuan tidak boleh diukur hanya dari berapa ton beton yang dituang, tapi dari seberapa sejahtera rakyat yang hidup di sekitarnya. Phinisi Sulsel sedang melaju kencang, tapi nahkoda harus waspada: karang tajam ketimpangan dan kerusakan lingkungan ada di depan mata.























