Selain belum dapat padanan rasa kata “bitter sweet” dalam kosa kata bahasa Indonesia, film ini juga membawa nuansa rasa yang hampir serupa dengan instrumen orkestra lagu “Bitter Sweet Symphony” yang dinyanyikan band britpop, The Verve. Lagu yang merajai tangga lagu selama beberapa pekan di Eropa dan Amerika Serikat, tetapi tidak mendapat royalti apa-apa.
Dari trilogi film kisah cinta “Habibie dan Ainun”, hanya yang pertama dan yang ketiga sengaja menonton di bioskop, semua karena sebab emosional.
Film kisah cinta Habibie & Ainun yang pertama menonton di Makassar, khusus datang dari Palu, karena bioskop belum ada di sana sampai tahun 2016. Ingin melanjutkan nuansa sehabis membaca surat cinta BJ. Habibie yang ternyata hoax. Surat cinta yang beredar di grup BBM tahun 2010 (zaman pra-WAG) tidak lama setelah kepulangan Ibu Ainun, mungkin saja adalah awal mula kisah cinta sepasang manusia yang kini telah berkumpul kembali di alam yang sama, mulai menginspirasi orang banyak di negeri ini.
Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan itu.
Karena, aku tahu bahwa semua yang ada pasti menjadi tiada pada akhirnya, dan kematian adalah sesuatu yang pasti, dan kali ini adalah giliranmu untuk pergi, aku sangat tahu itu. Tapi yang membuatku tersentak sedemikian hebat, adalah kenyataan bahwa kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan dalam diri seseorang, sekejap saja, lalu rasanya mampu membuatku menjadi nelangsa setengah mati, hatiku seperti tak di tempatnya, dan tubuhku serasa kosong melompong, hilang isi.
Kau tahu sayang, rasanya seperti angin yang tiba-tiba hilang berganti kemarau gersang. Pada airmata yang jatuh kali ini, aku selipkan salam perpisahan panjang, pada kesetiaan yang telah kau ukir, pada kenangan pahit manis selama kau ada, aku bukan hendak mengeluh, tapi rasanya terlalu sebentar kau disini.
Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik. Mana mungkin aku setia padahal memang kecenderunganku adalah mendua, tapi kau ajarkan aku kesetiaan, sehingga aku setia, kau ajarkan aku arti cinta, sehingga aku mampu mencintaimu seperti ini.
Selamat jalan, Kau dari-Nya, dan kembali pada-Nya, kau dulu tiada untukku, dan sekarang kembali tiada. Selamat jalan sayang, cahaya mataku, penyejuk jiwaku, selamat jalan, calon bidadari surgaku.
BJ. Habibie
Film “Habibie & Ainun 3” pun sama, berpindah kota untuk menontonnya. Namun, kali ini datang dari Bali ke Jakarta di hari pemutaran perdana bukan sesuatu yang kurencanakan sebelumnya.
Menjabarkan rasa dengan aksara tidak akan ada habisnya, sekeras apa pun upaya menulis. Penonton tetap akan mencari asosiasi dengan pikiran, perasaan dan pengalaman masing-masing.
Sebagai gambaran bagaimana film “Habbie & Ainun 3” mempengaruhi, sepulang menonton di hari pertama tayang, sampai lupa mengunci kembali pintu garasi sebelum tidur.
Di bioskop tempat menonton, ada empat auditorium, satu memutar “Habibie & Ainun 3”, tiga lagi sedang tayang “Jumanji”, “Star Wars” dan “Imperfect” film nasional dengan judul berbahasa Inggris. Auditorium 2 yang memutar “Habibie & Ainun 3” penuh, menyaingi antrian di tiga film lainnya.
Kisah BJ. Habibie yang menyusul Ainun kecintaannya di alam yang sama, tanggal 11/9/19 lalu, berhasil membuat penonton sesenggukan menjelang film berakhir. Tangis haru, bahagia, sedih, semuanya.
Bitter sweet, gumamku buru-buru menuju pintu keluar auditorium sebelum ikut sesenggukan.