GOWA – Tragedi mengejutkan menghiasi perayaan Hari Ulang Tahun ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia di alam terbuka. Seorang pendaki muda asal Kabupaten Bone, Irfan (24), dinyatakan meninggal dunia usai mengikuti upacara bendera di puncak Gunung Bawakaraeng, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Korban dilaporkan tewas akibat hipotermia berat, kondisi medis serius akibat suhu tubuh yang terlalu rendah akibat paparan dingin ekstrem di ketinggian.
Menurut keterangan Abdul Gofur dari Tim SAR Gabungan Siaga Merah Putih, Irfan ditemukan dalam keadaan lemah, kedinginan parah, dan tidak responsif pada Minggu pagi (17/8/2025), tak lama setelah upacara kemerdekaan di Pos 10, dekat puncak gunung.
Meski langsung mendapat pertolongan dan dievakuasi dengan tandu oleh tim gabungan, kondisinya tak kunjung membaik. Korban dinyatakan meninggal dunia oleh Tim Dokpol Polda Sulsel saat dalam perjalanan evakuasi dari Pos 8 menuju kaki gunung melalui jalur Bulu Balea.
Irfan bersama 16 rekannya memulai pendakian sejak Selasa (12/8/2025) dari jalur Bulubaria. Mereka berhasil mencapai puncak pada Sabtu (16/8/2025), satu hari sebelum upacara digelar. Namun, cuaca dingin yang ekstrem di ketinggian—yang bisa mencapai 0–5 derajat Celsius, terlebih di malam dan pagi hari—menjadi ancaman serius bagi pendaki yang tidak siap secara fisik maupun peralatan.

Kepala Seksi Operasi Kantor Basarnas Makassar, Andi Sultan, mencatat bahwa dari total 4.172 pendaki yang tercatat hingga pukul 17.00 WITA, sebanyak 32 orang mengalami gangguan kesehatan. Mayoritas mengalami hipotermia, disertai keluhan asam lambung naik dan kelelahan ekstrem. Beberapa di antaranya juga sempat terpisah dari kelompoknya, memperparah risiko keselamatan.
Alam Tidak Mengenal FOMO: Pentingnya Persiapan Fisik dan Mental
Tragedi ini menjadi alarm keras bagi komunitas pendaki dan masyarakat umum yang tergoda untuk ikut serta dalam kegiatan di alam bebas hanya karena fear of missing out (FOMO). Fenomena FOMO—rasa takut ketinggalan momen—semakin marak di era media sosial, mendorong banyak orang naik gunung tanpa persiapan memadai, hanya untuk mendapatkan foto di puncak atau ikut serta dalam acara simbolis seperti upacara bendera.
Padahal, lingkungan pegunungan seperti Gunung Bawakaraeng yang berada di ketinggian lebih dari 2.800 meter di atas permukaan laut (mdpl), menuntut adaptasi tubuh yang serius. Suhu dingin, oksigen yang tipis, medan terjal, dan perubahan cuaca yang cepat bisa menjadi ancaman nyawa jika tidak diantisipasi.
Pendaki harus memahami bahwa mendaki bukan sekadar gaya hidup atau konten media sosial, melainkan petualangan yang menuntut kedisiplinan, kesiapan fisik, mental, dan logistik. Berikut hal-hal krusial yang harus dipersiapkan:
1. Latihan Fisik Secara Berkala
Pendakian membutuhkan daya tahan jantung, paru-paru, dan otot. Latihan seperti jogging, hiking ringan, dan latihan kekuatan harus dilakukan minimal 4–6 minggu sebelum pendakian.
2. Pemahaman Medis dan Kondisi Tubuh
Hipotermia bisa menyerang siapa saja, terutama yang tidak membawa pakaian hangat, jaket anti-angin, sleeping bag, atau alas tenda yang cukup. Pendaki harus tahu gejala awal: gemetar hebat, bicara pelo, kebingungan, dan gerakan lambat.
3. Persiapan Mental dan Psikologis
Banyak pendaki gagal karena mental tidak siap menghadapi kelelahan, rasa takut, atau tekanan kelompok. Kesiapan mental termasuk kemampuan mengambil keputusan rasional, termasuk turn back jika kondisi tubuh memburuk.
4. Peralatan yang Memadai
Jaket gunung, headlamp, alas kaki anti-slip, makanan bergizi, dan air cukup adalah kebutuhan dasar. Jangan pernah mengandalkan “nanti pinjam teman” atau “pasti ada yang bawa”.
5. Pemahaman Etika dan Tanggung Jawab Lingkungan
Pendaki juga harus sadar akan jejak ekologis yang ditinggalkan. Membawa sampah turun, tidak merusak vegetasi, dan tidak membuat api sembarangan adalah bentuk penghormatan terhadap alam.
Menyambut Kemerdekaan, Bukan Menantang Maut
Upacara di puncak gunung memang punya makna simbolik yang kuat: semangat persatuan, cinta tanah air, dan keberanian menggapai ketinggian. Namun, semangat itu harus diimbangi dengan kearifan dan tanggung jawab. Kemerdekaan yang kita rayakan bukan hanya milik mereka yang sampai di puncak, tetapi juga bagi mereka yang cukup bijak untuk tahu batas diri.
Tragedi Irfan harus menjadi pelajaran: alam tidak pernah memaafkan keteledoran. Ia tidak peduli apakah Anda ingin viral, ikut tren, atau sekadar ingin merasakan “ada di sana”. Ia hanya merespons kesiapan, kesadaran, dan rasa hormat, dengan persiapan matang, rasa syukur, dan perlindungan terhadap diri sendiri serta lingkungan alam yang kita cintai.