JAKARTA, wartakita.id – Seorang pemilik kafe di Bukittinggi tiba-tiba menerima surat tagihan royalti musik. Di sudut lain, seorang manajer hotel di Bali dibuat bingung dengan perhitungan iuran berdasarkan jumlah kamar, hanya karena ada televisi yang bisa memutar musik. Mereka hanyalah dua dari ribuan pelaku usaha di seluruh Indonesia yang kini berada dalam pusaran kebingungan, frustrasi, dan keresahan terkait penagihan royalti musik oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Niatnya mulia: memastikan para pencipta lagu dan musisi mendapatkan hak ekonomi atas karya mereka yang diputar di tempat-tempat komersial. Namun, eksekusi di lapangan justru menimbulkan disonansi yang keras. Alih-alih menjadi jembatan harmoni antara seniman dan dunia usaha, implementasi aturan ini seringkali terasa seperti pungutan yang rumit, tidak logis, dan minim sosialisasi.
Artikel ini akan mengurai secara mendalam akar polemik, landasan hukum, studi kasus yang membingungkan, hingga catatan kritis bagi para regulator, untuk menjawab kebingungan yang dirasakan banyak pihak.
Akar Masalah: Mengapa Royalti Musik Begitu Kontroversial?
Polemik yang terjadi bukanlah karena pelaku usaha menolak untuk menghargai karya musisi. Masalahnya terletak pada implementasi dan komunikasi.
- Aturan Ada, Sosialisasi Tiada: Banyak pelaku usaha, terutama skala UMKM, mengaku tidak pernah menerima edukasi yang memadai mengenai UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan PP No. 56 Tahun 2021 sebagai aturan pelaksananya. Tagihan yang datang tiba-tiba dengan metode penagihan yang dianggap intimidatif menciptakan persepsi negatif.
- Persepsi Beban Ganda: Pengusaha merasa sudah membayar langganan TV kabel, membeli CD original, atau bahkan berlangganan platform streaming. Mereka bertanya, “Mengapa kami harus membayar lagi?” Kebingungan ini bersumber dari ketidakpahaman atas perbedaan fundamental antara lisensi personal dan lisensi komersial.
- Kurangnya Transparansi: Keraguan besar menyelimuti proses pengelolaan dan distribusi dana oleh LMKN. Pertanyaan tentang berapa total dana yang terkumpul, bagaimana alokasinya, dan apakah sudah sampai secara adil ke musisi yang berhak, masih sering terdengar. Isu ini bahkan mendorong Kementerian Hukum dan HAM untuk mewacanakan audit menyeluruh.
Landasan Hukum: Memahami Aturan Main LMKN
Untuk memahami posisi LMKN, kita harus melihat pada dua pilar hukum utama:
- UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta: Undang-undang ini memberikan “Hak Ekonomi” kepada pencipta, yaitu hak untuk mendapatkan imbalan finansial atas penggunaan karyanya. Salah satu bentuk penggunaan ini adalah “Penggunaan Secara Komersial”.
- PP No. 56 Tahun 2021: Peraturan ini adalah petunjuk teknisnya. Di sinilah ditetapkan bahwa setiap “layanan publik yang bersifat komersial” yang menggunakan lagu/musik wajib membayar royalti. PP ini juga yang menetapkan LMKN sebagai satu-satunya gerbang (one-gate system) untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti.
Definisi “komersial” dalam aturan ini ditafsirkan sangat luas, mencakup hampir semua tempat usaha, mulai dari hotel, kafe, restoran, toko, hingga moda transportasi.
Studi Kasus: Menjawab Kebingungan di Lapangan
Mari kita pecahkan tiga skenario paling umum yang menimbulkan kebingungan:
1. Kasus TV di Kamar Hotel
- Kebingungan: “Mengapa saya harus bayar royalti untuk TV di kamar yang privat dan belum tentu digunakan tamu untuk mendengar musik?”
- Jawaban Menurut Hukum: Logika regulator adalah: hotel merupakan entitas komersial. Menyediakan TV di kamar adalah fasilitas yang menambah nilai jual dan pengalaman tamu. Meskipun berada di ruang privat, hotel dianggap telah “mengumumkan” atau menyediakan akses terhadap karya cipta kepada publik (para tamu). Dalam hukum hak cipta, penyediaan potensi akses ini sudah cukup untuk menimbulkan kewajiban membayar royalti, terlepas dari apakah fasilitas itu benar-benar digunakan atau tidak.
2. Kasus Tamu Memutar Akun Spotify Pribadi di Kafe
- Kebingungan: “Musik yang diputar berasal dari akun Spotify tamu saya yang sudah bayar langganan. Mengapa kafe saya yang ditagih?”
- Jawaban Menurut Hukum: Langganan Spotify seorang individu adalah Lisensi Personal, hanya untuk penggunaan pribadi dan non-komersial. Ketika musik itu diputar di sebuah kafe sehingga bisa didengar oleh pengunjung lain, konteksnya berubah menjadi Penggunaan Komersial atau Public Performance. Hukum menempatkan tanggung jawab pada penyedia ruang komersial (pemilik kafe), bukan pada tamu. Kafe dianggap mendapat manfaat (ambience, kenyamanan pengunjung) dari musik tersebut.
3. Kasus Langganan Aplikasi Musik Khusus Bisnis (B2B)
- Kebingungan: “Saya sudah berlangganan aplikasi musik yang lisensinya memang untuk bisnis. Apakah saya masih harus bayar ke LMKN?”
- Jawaban Menurut Hukum: Kemungkinan besar, ya. Karena prinsip Sistem Satu Pintu, LMKN adalah satu-satunya kolektor resmi. Meskipun Anda sudah membayar layanan B2B, kewajiban hukum Anda untuk memastikan royalti sampai ke LMKN belum tentu gugur. Idealnya, penyedia layanan B2B tersebut yang menyetorkan royalti ke LMKN. Namun, untuk menghindari risiko hukum, pelaku usaha tetap dianggap bertanggung jawab secara langsung. Hal ini menyoroti bagaimana regulasi belum sepenuhnya sinkron dengan model bisnis teknologi modern.
Suara Pelaku Usaha: Bukan Menolak, Tapi Menuntut Keadilan
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) telah menjadi salah satu suara paling vokal. Penting dicatat, mereka tidak menolak kewajiban membayar royalti. Yang mereka tuntut adalah reformasi sistem agar lebih adil, logis, dan transparan. Poin utama tuntutan mereka adalah:
- Klasifikasi yang Adil: Penggunaan musik sebagai background ambience di lobi hotel tidak bisa disamakan tarif dan perlakuannya dengan penggunaan musik sebagai produk utama di rumah karaoke atau konser.
- Dasar Perhitungan yang Logis: Menghitung royalti berdasarkan jumlah kamar atau kursi dianggap tidak relevan. Mereka mengusulkan perhitungan yang lebih berkorelasi dengan pendapatan atau skala penggunaan musik.
- Metode Penagihan yang Profesional: Hentikan metode yang terkesan intimidatif dan ganti dengan pendekatan edukatif dan kemitraan.
Catatan untuk Regulator: Mencari Harmoni dalam Regulasi
Polemik ini adalah sinyal kuat bahwa “instrumen” regulasi perlu disetel ulang agar menghasilkan harmoni, bukan kegaduhan. Beberapa langkah yang perlu menjadi prioritas:
- Transparansi Adalah Kunci: Laksanakan audit yang dijanjikan terhadap LMKN dan LMK secara menyeluruh. Publikasikan alur dana secara transparan untuk membangun kembali kepercayaan.
- Edukasi, Bukan Intimidasi: Ubah pendekatan dari penagihan utang menjadi sosialisasi dan edukasi. Gandeng asosiasi-asosiasi usaha untuk merumuskan panduan yang mudah dipahami.
- Revisi dan Klasifikasi Ulang PP 56/2021: Tinjau kembali definisi “penggunaan komersial” dan buat klasifikasi yang berjenjang dan adil. Bedakan antara pengguna musik primer dan sekunder (latar).
- Adaptasi Teknologi: Buat mekanisme yang jelas dan terintegrasi untuk layanan musik B2B agar tidak terjadi potensi pembayaran ganda.
Tujuan untuk menyejahterakan musisi dan pencipta lagu adalah tujuan yang harus kita dukung bersama. Namun, cara mencapainya tidak boleh dengan menciptakan beban yang tidak adil dan kebingungan sistemik bagi para pelaku usaha, yang notabene adalah panggung bagi karya-karya musisi itu sendiri untuk diperdengarkan. Saatnya bagi regulator untuk duduk bersama, mendengarkan semua pihak, dan menyusun ulang orkestrasi aturan royalti agar lebih adil, transparan, dan harmonis. (Ilustrasi dan artikel ini dibuat redaksi dengan melibatkan bantuan AI Gemini).