MAKASSAR, Wartakita.id, Tahun 2025 memberikan paradoks visual yang tajam bagi warga Kota Makassar. Jika Anda berdiri di atas Jalan Tol Layang Pettarani yang megah, Anda akan melihat skyline kota yang kian padat oleh hotel bintang lima dan apartemen mewah di kawasan Losari. Tagline “Makassar Kota Dunia” terasa nyata dari ketinggian.
Namun, turunlah ke bawah, ke jalan arteri Perintis Kemerdekaan atau ke permukiman padat di Antang dan Paccerakkang saat musim hujan tiba di bulan Januari dan Desember. Realitasnya basah dan berlumpur.
Sepanjang 2025, Makassar mencatat frekuensi banjir rob (tidal flood) tertinggi dalam satu dekade. Kenaikan muka air laut yang diprediksi para ahli iklim bukan lagi teori, tapi tamu bulanan yang merendam halaman rumah warga di Utara kota.
Proyek drainase raksasa yang dikerjakan Pemkot sepanjang tahun dinilai belum efektif. Pakar tata kota dari Universitas Hasanuddin menyebut pembangunan massive di area resapan air (Tanjung Bunga dan pesisir) sebagai biang kerok. “Kita menimbun laut, airnya lari ke darat,” kritiknya dalam sebuah talkshow lokal.
Di sisi lain, kemacetan tahun 2025 mencapai titik jenuh. Rasio jalan dan jumlah kendaraan sudah tidak seimbang. Wacana pembangunan Makassar Metro Capsule (LRT ringan) kembali mengapung di akhir tahun, namun publik skeptis. Apakah ini solusi nyata atau sekadar janji politik jelang tahun anggaran baru?
Tahun 2025 mengajarkan warga Makassar satu hal: menjadi “Kota Dunia” bukan hanya soal seberapa tinggi gedung yang dibangun, tapi seberapa kering kaki warganya saat hujan turun.























