Mengapa Vonis 2019 Belum Dieksekusi?
Di tengah upaya Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan untuk mengeksekusi terpidana kasus penyebaran fitnah terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), Silfester Matutina, muncul klaim dari pihak pengacara bahwa kasus kliennya telah kedaluwarsa. Pengacara Silfester, Lechumanan, berargumen bahwa eksekusi penahanan tidak dapat dilakukan karena kasus tersebut telah melewati batas waktu lima tahun.
Argumen ini merujuk pada Pasal 84 dan 85 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang daluwarsa penuntutan pidana. Secara umum, daluwarsa pidana adalah tenggang waktu tertentu setelah suatu tindak pidana dilakukan, di mana setelah lewatnya tenggang waktu tersebut, negara kehilangan haknya untuk menuntut dan menjatuhkan pidana kepada pelaku.
Penerapan Pasal 85 KUHP: Penghentian dan penghitungan daluwarsa baru
Pasal 85 KUHP mengatur bahwa jangka waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana dapat terhenti dan dimulai kembali dalam kondisi tertentu.
Contoh kasus dengan penundaan:
- Terpidana melarikan diri: Jika seorang terpidana melarikan diri saat menjalani hukuman, masa kedaluwarsa yang baru akan mulai dihitung sejak hari setelah pelarian tersebut.
- Terpidana menjalani hukuman lain: Apabila seorang terpidana sedang menjalani hukuman untuk kasus lain, masa kedaluwarsa pidana sebelumnya akan tertunda hingga pidana yang sedang dijalaninya selesai.
Perbedaan daluwarsa penuntutan dan pelaksanaan pidana
Penting untuk membedakan antara daluwarsa penuntutan (Pasal 78 KUHP) dan daluwarsa pelaksanaan pidana (Pasal 84 KUHP), meskipun keduanya memiliki tujuan yang sama untuk memberikan kepastian hukum.
- Daluwarsa penuntutan: Jangka waktu untuk menuntut suatu tindak pidana dapat gugur. Masa daluwarsa penuntutan ini umumnya lebih pendek dibandingkan masa daluwarsa pelaksanaan pidana.
- Daluwarsa pelaksanaan pidana: Jangka waktu untuk melaksanakan pidana yang telah diputuskan oleh pengadilan juga dapat gugur. Jangka waktunya lebih lama karena putusan hukum sudah memiliki kepastian.
Perspektif dan kontroversi
Meskipun daluwarsa bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, penerapannya terkadang menimbulkan kontroversi, terutama dalam kasus-kasus serius.
- Ketidakadilan: Beberapa pihak, seperti yang disampaikan oleh pakar di Mahkamah Konstitusi, menilai bahwa masa kedaluwarsa dapat menimbulkan ketidakadilan karena berpotensi membebaskan pelaku kejahatan serius (terutama yang diancam pidana seumur hidup atau mati) jika mereka berhasil menghindari eksekusi hukuman selama kurun waktu tertentu.
- Tujuan hukum: Para ahli berpendapat bahwa daluwarsa diperlukan untuk mencegah suatu kasus menggantung tanpa batas waktu karena hilangnya alat bukti atau memudarnya ingatan seiring berjalannya waktu.
Pada akhirnya, penerapan Pasal 84 dan 85 KUHP menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia memberikan batas waktu tertentu untuk pelaksanaan pidana. Meskipun demikian, beratnya hukuman dan kondisi terpidana (seperti melarikan diri) akan memengaruhi bagaimana pasal-pasal ini diterapkan.
Dalam konteks kasus Silfester, vonis pidana terhadapnya dijatuhkan pada tingkat kasasi di tahun 2018, yang kemudian diperberat menjadi 1,5 tahun penjara. Peristiwa pidana itu sendiri terjadi pada tahun 2017. Jika dihitung dari peristiwa pidana, maka perhitungan daluwarsa penuntutan bisa menjadi kompleks dan bergantung pada kapan laporan atau penyidikan pertama kali dilakukan. Namun, klaim pengacara yang merujuk pada “lebih dari lima tahun” kemungkinan besar merujuk pada rentang waktu sejak terjadinya peristiwa pidana hingga upaya eksekusi saat ini.
Penting untuk dicatat bahwa daluwarsa penuntutan pidana berbeda dengan daluwarsa pelaksanaan pidana. Daluwarsa penuntutan adalah tenggang waktu untuk melakukan penuntutan sejak tindak pidana dilakukan. Sementara itu, daluwarsa pelaksanaan pidana adalah tenggang waktu untuk melaksanakan putusan pidana sejak putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.
Peran Putusan Pengadilan dan Upaya Hukum
Penolakan gugatan Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARUKKI) terkait eksekusi Silfester oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, seperti yang disampaikan oleh pengacara, mengindikasikan bahwa secara hukum formal, pengadilan belum menyatakan kasus tersebut kedaluwarsa. Pengacara Silfester juga berencana mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).
Namun, pengajuan PK sebelumnya oleh Silfester di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dinyatakan gugur karena dianggap tidak menggunakan haknya untuk hadir di persidangan dan tidak bersungguh-sungguh dalam mengajukan permohonan. Menurut Pasal 263 ayat (2) KUHAP, permohonan PK dapat diajukan apabila ada novum (bukti baru) atau jika terdapat kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.
Pihak pengacara juga mengancam akan mengajukan upaya hukum terhadap Kejari Jakarta Selatan jika eksekusi dipaksakan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan interpretasi hukum antara pihak penasihat hukum terpidana dan aparat penegak hukum. Perlu diperhatikan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, jaksa memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Jika memang ada argumen hukum yang kuat mengenai daluwarsa, seharusnya hal ini dibuktikan melalui mekanisme hukum yang ada, bukan sekadar klaim.
Misteri Di Balik Belum Dieksekusinya Vonis
Pertanyaan krusial yang timbul adalah mengapa, sejak vonis dijatuhkan pada tahun 2019 (meskipun vonis kasasi di 2018, namun proses selanjutnya hingga eksekusi bisa memakan waktu), belum terlihat adanya upaya eksekusi penahanan terhadap Silfester, padahal ia beberapa kali tampil di televisi pasca-jatuhnya vonis.
Ada beberapa kemungkinan alasan dari perspektif hukum dan praktik peradilan: Pertama, kemungkinan adanya penundaan eksekusi yang sah atas dasar pertimbangan hukum tertentu, misalnya menunggu proses upaya hukum lain yang masih berjalan atau karena kondisi kesehatan terpidana (seperti yang sempat terjadi pada pengajuan PK sebelumnya). Kedua, bisa jadi ada kendala administratif atau teknis dalam proses pencarian dan penangkapan terpidana oleh pihak kejaksaan. Ketiga, dan ini spekulatif, bisa saja ada pengaruh atau lobi yang menghambat proses eksekusi, meskipun hal ini sulit dibuktikan tanpa data konkret.
Kehadiran Silfester di publik pasca-vonis memang menimbulkan pertanyaan publik mengenai efektivitas penegakan hukum. Dalam praktik, seringkali terpidana yang seharusnya menjalani hukuman dapat melakukan berbagai aktivitas di luar penjara jika eksekusi belum dilakukan. Hal ini dapat menimbulkan persepsi ketidakadilan di mata masyarakat dan merusak kepercayaan terhadap sistem hukum.
Kejagung yang memastikan Kejari Jaksel sedang mencari keberadaan Silfester, menunjukkan bahwa negara tetap berupaya menjalankan putusan pengadilan. Namun, kejelasan mengenai alasan penundaan eksekusi yang sudah berlangsung bertahun-tahun ini sangat dibutuhkan publik untuk memahami proses hukum yang sedang berjalan.