Siapa yang menyangka, predikat ‘netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara’ pernah disematkan pada warga Indonesia. Padahal, di dunia nyata, kita kan terkenal ramah senyum sampai ke hati. Tapi, begitu jari sudah menari di atas layar ponsel, kok rasanya seperti bertukar alam gaib ya? Kolom komentar mendadak jadi ajang perang, mulai dari caci maki level dewa, perundungan siber yang bikin ngeri, sampai sebar hoax tanpa rem, semua dilibas!
Fenomena ini bukan sekadar kenakalan khas anak baru gede (digital), tapi lebih seperti alarm darurat bahwa etika berbangsa kita lagi megap-megap di ruang publik digital. Media sosial yang seharusnya jadi jembatan komunikasi, eh, malah lebih sering berubah jadi arena gladiator. Pertarungan argumen berubah jadi adu otot jempol.
Bukan Hoax Biasa, Ini Krisis Kewarganegaraan Digital
Ternyata, jurus ‘diam adalah emas’ ala emak-emak arisan offline mendadak hilang begitu saja saat berselancar di dunia maya. Perbedaan pendapat yang seharusnya diasah dengan argumen cerdas, kini lebih sering dibalas dengan serangan personal yang brutal. Ibaratnya, kalau nggak sepakat, ya kamu salah. Udah gitu aja. Akibatnya, masyarakat jadi terbelah jadi dua kubu: kubu ‘kita’ yang paling benar dan kubu ‘mereka’ yang harus dibasmi.
Ruang Gema: Tempatnya Akal Sehat Menghilang Misterius
Salah satu biang kerok utama dari semua kekacauan ini adalah algoritma media sosial yang gemar membuat ‘echo chamber’ atau ruang gema. Kita cenderung asyik sendiri mengikuti akun-akun yang sepemikiran. Hasilnya? Merasa pandangan kita adalah yang paling mutakhir dan segala yang berbeda itu adalah ancaman. Mirip kayak lagi nonton sinetron, semua pemeran figuran cuma boleh terkesima melihat si tokoh utama.
Ketika ada informasi yang sedikit nyeleneh, reaksi pertama bukanlah verifikasi, melainkan langsung antipati. Di sinilah, hooaks dan disinformasi menemukan surga terlarang mereka. Netizen nggak lagi cari kebenaran, tapi lebih ke arah ‘pembenaran’. Ujaran kebencian pun disulap jadi ‘kebebasan berpendapat’, padahal itu sama saja melanggar hak orang lain untuk merasa aman. Kayak teriak-teriak di bioskop padahal filmnya lagi seru-serunya.
Mentalitas Kerumunan: Sekali Dikasih Pancingan, Langsung Nyosor
Perilaku beringas di dunia maya ini ternyata juga dipicu oleh ‘herd mentality’ alias mentalitas kerumunan. Bayangkan saja, orang yang di dunia nyata mungkin pendiam kayak siput di hari Minggu, bisa jadi singa lapar di dunia maya karena merasa ‘punya teman’.
Ketika satu akun mulai ‘diserang’ ramai-ramai, ribuan akun lain ikut menyerbu tanpa peduli apa duduk permasalahannya. Alasannya? Demi solidaritas semu atau takut dianggap ketinggalan zaman (FOMO). Identitas anonim di media sosial juga makin mempermudah orang untuk lepas dari tanggung jawab moral. Lupa deh, di balik akun yang mereka hujat, ada manusia nyata yang punya perasaan. Kadang, mereka cuma butuh pelukan virtual, bukan hujatan berjemaah.
Literasi Digital Rendah: Nggak Cuma Soal Bisa Baca Tulis
Masalah ini pada akhirnya bermuara pada literasi digital yang masih ‘setengah matang’. Meskipun penetrasi internet tinggi, kemampuan masyarakat untuk mencerna informasi masih rendah. Ibarat dikasih mobil sport tapi nyetirnya masih pakai rem tangan. Kualitas nalar kritis kita memang butuh ‘upgrade’ serius.
Banyak pengguna internet kita yang gagap teknologi secara kultural. Mereka memegang alat canggih, tapi mentalitas komunikasinya masih jadul. Nggak ada saringan ‘saring sebelum sharing’. Jadi, apa yang terpikir, langsung dibagikan. Enggak peduli benar atau salah, yang penting nge-share dulu.
Yuk, Kembalikan Kesantunan Bangsa (Termasuk di Dunia Maya!)
Kalau kita bangga disebut bangsa yang ramah, mari tunjukkan keramahan itu juga di dunia maya. Kewarganegaraan digital menuntut kita untuk nggak cuma patuh hukum di jalan raya, tapi juga beradab di jalanan maya. Menghentikan jari untuk tidak mengetik komentar jahat saat emosi adalah bentuk patriotisme baru. Memverifikasi berita sebelum menyebarkannya adalah bela negara di era informasi.
Jika ruang sipil kita terus dipenuhi racun kebencian, kita sendiri yang akan rugi. Kita kehilangan wadah diskusi sehat untuk memajukan bangsa. Jadi, yuk, kita ubah keyboard jadi alat perjuangan membangun bangsa, bukan alat perang antar sesama. Sedikit bersabar, sedikit berpikir, dan lebih banyak tersenyum (walaupun virtual).























