Wartakita, Makassar – Diskusi foto di Gedung Kesenian Makassar semalam (01/05) berlangsung hangat dan akrab. Oscar Matuloh, direktur GFJA (Galeri Fotografi Jurnalistik Antara) dan pendiri organisasi Pewarta Foto Indonesia, memulai materi diskusi dengan koleksi foto-foto bersejarah di masa revolusi kemerdekaan.
Bagaimana fotografer jurnalis LKBN Antara melalui karyanya ikut menentukan keberhasilan dan arah perjuangan di masa itu. Lalu dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Berikut beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari diskusi semalam:
Sensor dan Kode Etik Foto Jurnalistik
Jurnalisme warga, media sosial, dan ponsel berkamera bukan ‘musuh’ pewarta foto, kendati kecepatan para jurnalis warga dan netizen menerbitkan beritanya bisa melampaui kecepatan terbit kantor berita dan media besar. Namun jurnalis warga belum semua memiliki kode etik dan nyaris tanpa kaidah bagaimana mestinya sebuah foto yang bisa dikategorikan sebagai foto jurnalistik. Keduanya bisa saling melengkapi. Contoh kasus saat bom Kuningan, kecepatan warga menyiarkan foto-foto korban mendahului semua media, namun tanpa sensor sama sekali. Sebagian media resmi yang mengutip foto tersebut sisa melengkapinya dengan kaidah foto jurnalistik, mengaburkan wajah korban, dan memverifikasi lokasi, waktu, identitas dan lainnya.
Tentang efektivitas censorship, Oscar berpendapat lapisan pertama memang ada di tangan pewarta foto dan jurnalis, lapis kedua berada pada komisi penyiaran, dan lapisan terakhir ada pada kepala dan jari para pembaca berita, lapisan yang tidak bisa disentuh oleh siapapun. Pikiran mesum dan standar moralitas lainnya sulit dikendalikan karena bersifat personal.
Misalnya pada kasus rusuh Sampit. Media, para jurnalis dan fotografer Indonesia telah memiliki kesadaran enggan ‘menyiramkan bensin pada api’ dengan tidak memuat gambar-gambar yang justru bisa memperkeruh suasana.
‘Staging’ dalam Fotografi Jurnalistik
Sebenarnya tidak ada aturan baku bagaimana mestinya sebuah fotografi jurnalistik, baik dalam proses pembuatan, maupun gambar hasil liputan. Satu-satunya kaidah yang sering diajarkan adalah kaidah EDFAT (entire, detail, framing, angle, timing) bisa untuk esai foto atau foto cerita, namun untuk foto tunggal tidak terpakai.
Staging atau penataan subyek foto yang gambarnya akan digunakan sebagai foto jurnalistik sebaiknya dihindari, karena prinsip jurnalistik adalah mengabarkan atau menyampaikan informasi, bukan memodifikasi atau membelokkan informasi, sekalipun tujuannya untuk menguatkan pesan kebaikan.
Hal-hal tersebut masih bisa diraih dengan mengubah sudut pengambilan gambar atau hal lain tanpa mengarahkan subyek. Foto jurnalistik bukan foto salon, gambarnya bisa saja buruk secara teknik fotografi namun pesan gambarnya sampai.
Tentu saja, sensor, aturan, dan kaidah foto jurnalistik bukan sesuatu yang tidak bisa didobrak dan dilanggar. Sebelum melanggar atau mendobrak, pastikan bahwa foto tersebut memang bernilai lebih besar dari segala aturan dan kaidah, atau akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik, minimal menjadi pemicu aliran besar sungai kebaikan. (Foto/artikel : MI/AB)