MAKASSAR, WartaKita.id – Sulawesi Selatan, yang lama dikenal sebagai lumbung padi nasional, kini menjadi medan utama pertarungan strategis demi mewujudkan swasembada pangan berkelanjutan. Melalui peluncuran Tim Pendamping Brigade Sulawesi Selatan pada awal Desember 2024, pemerintah mengambil langkah konkret dan mendalam, berfokus pada penggerak utama: petani milenial. Program ambisius ini tidak sekadar menargetkan peningkatan produksi, tetapi juga mentransformasi sektor pertanian daerah dengan adopsi teknologi modern dan pemberdayaan generasi muda, menjawab tantangan kompleks ketahanan pangan di tengah perubahan iklim dan dinamika pasar global.
Empat kabupaten strategis—Bone, Wajo, Sidenreng Rappang, dan Pinrang—yang merupakan sentra produksi pangan utama di Sulsel, menjadi titik awal implementasi program ini. Kolaborasi erat antara Tim Pendamping Brigade, Satuan Tugas (Satgas) Swasembada Pangan, dan Dinas Pertanian setempat menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengintegrasikan berbagai elemen untuk mencapai tujuan. Inisiatif ini menandai pergeseran paradigma, dari sekadar bantuan konvensional menjadi pendekatan holistik yang memadukan sumber daya manusia, teknologi, dan manajemen lahan yang terstruktur.
Membedah Model Brigade: Kekuatan Kolektif Petani Milenial
Inti dari program ini adalah pembentukan brigade pangan, sebuah struktur inovatif yang menempatkan petani milenial sebagai garda terdepan. Setiap brigade terdiri dari 15 petani muda yang bertanggung jawab mengelola lahan seluas 200 hektar. Model ini dirancang untuk menciptakan efisiensi skala, memfasilitasi adopsi teknologi secara kolektif, dan membangun komunitas pertanian yang adaptif. Pendekatan terstruktur ini diharapkan mampu mengatasi fragmentasi lahan dan kekurangan tenaga kerja yang sering menghambat produktivitas di sektor pertanian tradisional.
Kementerian Pertanian (Kementan) tak main-main dalam mendukung program ini. Tahap awal disokong oleh 400 pendamping profesional dan 50 mentor berpengalaman. Para pendamping ini berasal dari berbagai latar belakang, termasuk penyuluh pertanian, dosen, guru, dan widyaiswara, yang memiliki keahlian spesifik dalam agroteknologi, manajemen bisnis pertanian, hingga literasi digital. Mereka bertugas sebagai fasilitator dan akselerator, mendampingi setiap lima brigade untuk memastikan kelancaran operasional, penerapan praktik pertanian terbaik, serta transfer pengetahuan tentang teknologi modern. Pendampingan intensif ini krusial untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik di lapangan, memastikan petani milenial tidak hanya inovatif tetapi juga adaptif terhadap tantangan riil.
Mengapa Petani Milenial Menjadi Kunci Swasembada Pangan?
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, yang juga putra daerah Sulawesi Selatan, menegaskan bahwa peran generasi muda adalah pondasi utama keberhasilan program ini. “Kunci sukses swasembada pangan ada pada generasi muda. Dengan memanfaatkan teknologi modern dan kekayaan sumber daya alam kita, saya yakin target ini bisa tercapai,” ujarnya dengan optimis. Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah strategi yang berlandaskan data dan kebutuhan mendesak.
Sektor pertanian di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan, menghadapi tantangan regenerasi petani yang serius. Data BPS menunjukkan rata-rata usia petani terus meningkat, mengindikasikan kurangnya minat generasi muda untuk bergelut di sektor ini. Petani milenial, dengan keterbukaan mereka terhadap inovasi dan adaptasi teknologi, menawarkan solusi vital. Mereka cenderung lebih cepat mengadopsi pertanian presisi (precision farming), penggunaan drone untuk pemantauan lahan, aplikasi digital untuk manajemen irigasi, serta teknik budidaya yang berkelanjutan. Ini adalah ‘mengapa’ utama di balik fokus pada generasi muda; mereka bukan hanya penerus, tetapi agen perubahan yang mampu membawa pertanian Sulsel ke era digital dan berkelanjutan.
Dr. Detia Tri Yunandar, Direktur Polbangtan Gowa, yang memiliki peran sentral di Kabupaten Bone dan Wajo, menekankan pentingnya peran petani milenial. “Tahun ini, kita melibatkan lebih banyak kaum muda, baik sebagai pendamping maupun anggota brigade. Tantangan yang muncul di lapangan harus dijadikan peluang untuk belajar dan berkembang,” ungkapnya. Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa program ini bukan tanpa hambatan. Tantangan seperti akses permodalan, fluktuasi harga komoditas, dan perubahan iklim yang ekstrem adalah realitas yang harus dihadapi. Namun, melalui pendekatan brigade dan pendampingan, diharapkan petani milenial dapat dibekali tidak hanya dengan keterampilan teknis, tetapi juga ketahanan mental dan kemampuan adaptasi.
Dampak Strategis dan Kontekstualisasi untuk Sulawesi Selatan
Hingga saat ini, program ini telah membentuk lebih dari 1.500 brigade pangan di 12 provinsi, menunjukkan skala dan ambisi nasional. Namun, di Sulawesi Selatan, dampaknya terasa sangat relevan dan mendesak. Sulawesi Selatan secara historis adalah salah satu provinsi penyangga pangan nasional, khususnya beras. Data dari Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan produksi padi yang signifikan, namun juga menghadapi ancaman konversi lahan pertanian, dampak El Nino yang menyebabkan kekeringan di beberapa musim tanam, serta serangan hama dan penyakit yang kian kompleks.
Program Brigade Swasembada Pangan ini diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan tersebut. Dengan lahan 200 hektar per brigade, skala ekonomi yang dicapai akan lebih besar, memungkinkan investasi pada alat dan mesin pertanian modern yang efisien. Peningkatan produktivitas tidak hanya akan menjamin ketersediaan pangan di tingkat lokal, tetapi juga memperkuat posisi Sulsel sebagai pemasok utama bagi provinsi lain. Lebih dari itu, program ini berpotensi meningkatkan pendapatan petani secara signifikan, mengurangi angka kemiskinan di pedesaan, serta menciptakan peluang kerja baru bagi kaum muda yang selama ini cenderung urbanisasi mencari pekerjaan di perkotaan. Inilah ‘dampak’ langsung yang diharapkan bagi masyarakat Sulawesi Selatan: stabilitas ekonomi, ketahanan pangan, dan keberlanjutan sektor pertanian.
Sebagai contoh, di Kabupaten Wajo, yang dikenal sebagai salah satu lumbung padi terbesar, adopsi teknologi irigasi tetes atau sistem tanam presisi yang diinisiasi oleh brigade milenial dapat mengurangi penggunaan air secara drastis, sebuah keuntungan besar di tengah ancaman krisis air. Di sisi lain, di Pinrang, yang juga memiliki area pertanian luas, penerapan pertanian berbasis data (data-driven farming) akan membantu petani mengoptimalkan penggunaan pupuk dan pestisida, mengurangi biaya produksi dan dampak lingkungan.
Tantangan dan Prospek Berkelanjutan
Meskipun optimisme membayangi, sejumlah tantangan tetap perlu diantisipasi dan diatasi. Keberlanjutan program ini sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah dan pusat, serta kemampuan adaptasi petani milenial terhadap inovasi. Isu pendanaan berkelanjutan, akses terhadap pasar yang adil bagi produk petani, serta pengembangan infrastruktur pendukung seperti fasilitas pascapanen dan jaringan logistik, menjadi krusial. Selain itu, aspek edukasi dan pelatihan berkelanjutan bagi pendamping dan anggota brigade harus terus ditingkatkan, mengingat pesatnya perkembangan teknologi pertanian.
Penyelarasan kebijakan antara sektor pertanian dengan sektor lain, seperti pendidikan dan industri, juga penting untuk menciptakan ekosistem pertanian yang kuat. Keterlibatan lembaga keuangan dalam memberikan akses permodalan yang terjangkau bagi petani milenial adalah prasyarat untuk pertumbuhan. Jika tantangan ini dapat diatasi, masa depan pertanian yang berkelanjutan dan sejahtera di Sulawesi Selatan bukan lagi sekadar impian, melainkan sebuah realitas yang dapat dicapai.
Kesimpulan
Program Brigade Swasembada Pangan di Sulawesi Selatan merupakan upaya monumental untuk mengamankan ketahanan pangan nasional melalui pemberdayaan petani milenial dan adopsi teknologi. Dengan fokus pada kabupaten-kabupaten produsen utama, program ini tidak hanya bertujuan meningkatkan produktivitas, tetapi juga merevitalisasi sektor pertanian, membuatnya lebih menarik dan berkelanjutan bagi generasi mendatang. Keberhasilan inisiatif ini akan menjadi tolok ukur penting bagi model pembangunan pertanian di Indonesia, membuktikan bahwa dengan inovasi, kolaborasi, dan semangat juang generasi muda, mimpi swasembada pangan di negeri ini dapat terwujud, menjadikan Sulawesi Selatan sebagai contoh nyata transformasi pertanian yang berdaya saing global.























