Wartakita.id CIKOANG – Puluhan pemuda bergotong royong mengarak julung-julung (replika kapal) yang berisi hidangan khas berupa nasi pamatara (setengah matang) dan lauk yang menunya didominasi ayam kampung dan telur warna warni yang penuh hiasan kain khas Sulawesi serta aksesoris lainnya menuju pinggir Sungai Cikoang pada puncak perayaan Maudu Lompoa di Kecamatan Mangarabombang, Desa Cikoang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Minggu (10/01/2016).
Dalam bahasa Indonesia, Maudu Lompoa berarti Maulid Besar adalah prosesi peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang diisi dengan berbagai kegiatan ritual dan telah dimulai sejak tahun 1621, erat kaitanya dengan seorang ulama Aceh bernama Sayyid Jalaluddin, yang telah berjasa mengembangkan ajaran Islam di Cikoang.
Tradisi ini ditujukan untuk menanamkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya. Karenanya secara temurun tradisi ini dipelihara keluarga Sayyid Al’-Aidid. Kehadiran tradisi Maudu’ Lompoa di Cikoang diawali dari kedatangan Sayyid Djalaluddin bin Muhammad Wahid Al’ Aidid.
Beliau adalah seorang ulama besar asal Aceh, cucu Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam, keturunan Arab Hadramaut, Arab Selatan, dan masih keturunan Nabi Muhammad SAW yang ke-27. Sayyid Djalaluddin Al’ Aidid tiba di kerajaan Gowa-Makassar pada abad 17, masa pemerintahan Sultan Alauddin. Beliau kemudian diangkat menjadi Mufti kerajaan.
Putra Mahkota kerajaan Gowa oleh Sayyid Djalaluddin diberi nama Muhammad al-Baqir I Mallombassi Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin. Diberitakan bahwa Syekh Yusuf berguru kepadanya selama 3 tahun dan atas petunjuknya kemudian Syekh Yusuf diberangkatkan ke Timur Tengah untuk memperdalam ilmunya. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa beliau berasal dari Aceh adalah naskah-naskah agama yang beliau bawa. Naskah tersebut merupakan karangan-karangan Nuruddin ar-Raniriy, yaitu Akhbarul Akhirah dan Ash-Shiratal Mustaqim. Sampai sekarang naskah-naskah tersebut masih digunakan oleh anak keturunan beliau di Cikoang dan telah disalin berulang-ulang.
Kedatangan beliau ke Sulawesi Selatan, seperti dikutip Abd Majid Ismail dari Andi Rasdiyanah Amir, dkk dalam Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi, 1982, merupakan gelombang lanjutan dari proses Islamisasi kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar sesudah periode Dato’ ri Bandang. Dalam mengajarkan Islam di tanah Sulawesi Selatan, Sayyid Djalaluddin Al’ Aidid mengajarkan tiga hal penting yang kemudian menjadi faktor utama terwujudnya upacara Maudu’ Lompoa, yaitu prinsip al-ma’rifah, al-iman dan al-mahabbah.
Dengan prinsip itu diyakini bahwa pemahaman ruhaniah secara hakekat terhadap Allah terlebih dahulu harus didahului dengan pemahaman mendalam atas kejadian dan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Foto-foto: Herwin Gunadi