Jakarta – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan keberatan atas keputusan pemerintah yang menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025.
Keputusan ini diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Jumat (29/11/2024) sebagai langkah untuk meningkatkan perlindungan sosial bagi pekerja.
Namun, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, mempertanyakan landasan pemerintah dalam menetapkan angka kenaikan tersebut. “Kita sampai saat ini tidak tahu apa landasannya pemerintah menetapkan kenaikan 6,5 persen,” ujar Bob (30/11/2024).
Bob menegaskan bahwa persoalan utama bukanlah soal setuju atau tidak dengan kenaikan, melainkan kemampuan dunia usaha untuk mengakomodasi kebijakan ini. “Ini bukan masalah keberatan atau tidak, tapi mampu atau tidak,” tegasnya.
Jika dunia usaha tidak mampu menyesuaikan diri, ada empat opsi yang mungkin diambil: mengajukan keberatan, melakukan efisiensi atau bahkan pemutusan hubungan kerja (PHK), menunda investasi, atau keluar dari sektor industri dan beralih ke investasi di Surat Berharga Negara (SBN).
Ketidakpastian mekanisme penetapan upah minimum juga menjadi perhatian utama. Menurut Bob, tanpa perhitungan yang transparan, kenaikan upah dapat meningkatkan beban biaya produksi, yang pada akhirnya memengaruhi daya saing perusahaan, terutama di tengah tantangan ekonomi global.
Presiden Prabowo Subianto sebelumnya menjelaskan bahwa usulan awal dari Menteri Ketenagakerjaan adalah kenaikan sebesar 6 persen. Namun, setelah bertemu dengan perwakilan buruh, angka tersebut dinaikkan menjadi 6,5 persen. “Upah minimum adalah jaringan pengaman sosial yang sangat penting bagi pekerja,” kata Prabowo dalam konferensi persnya.
Dalam situasi ini, Apindo berharap pemerintah dapat memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai mekanisme dan dampak kebijakan kenaikan upah. Kejelasan tersebut dianggap penting agar pelaku usaha dapat merencanakan langkah strategis demi menjaga stabilitas bisnis di masa mendatang.