Kenaikan PPN 12 Persen: Apa Artinya untuk Ekonomi dan Daya Beli Masyarakat?
Pemerintah menetapkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Langkah ini merupakan bagian dari upaya menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
PPN adalah pajak yang dikenakan pada setiap pertambahan nilai barang atau jasa dalam rantai distribusi, dari produsen hingga konsumen akhir. Peningkatan tarif PPN dilakukan secara bertahap—dari 10 persen pada 2022, kemudian naik menjadi 11 persen pada 2022, dan direncanakan mencapai 12 persen di 2025.
Menurut pemerintah, tujuan utama kenaikan PPN adalah menyeimbangkan neraca penerimaan negara dengan pengeluaran, terutama di tengah tantangan global yang mengancam stabilitas fiskal. Dengan tarif baru ini, APBN diharapkan mampu menutupi defisit dan mendukung pembiayaan pembangunan yang berkelanjutan.
Namun, kebijakan ini memicu berbagai tanggapan dari masyarakat dan pengamat ekonomi. Sebagian pihak berpendapat bahwa kenaikan PPN otomatis menaikkan harga barang dan jasa, yang berpotensi menekan daya beli masyarakat. Apalagi, inflasi yang tinggi dapat menjadi efek samping dari kenaikan pajak ini.
Misalnya, barang yang sebelumnya dijual seharga Rp100.000 setelah dikenakan PPN 11 persen maka konsumen harus membayar Rp111.000. Jika tarif PPN dinaikkan menjadi 12 persen, maka harga yang harus dibayar konsumen menjadi Rp112.000.
Kenaikan PPN sebesar 1% (dari 11% ke 12%) menambah harga barang 0,9% dari total harga setelah pajak
Dasar perhitungan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% berpotensi menaikkan harga barang dan jasa hingga 0,9% dapat dijelaskan dengan menggunakan formula sederhana yang menghubungkan tarif pajak dengan harga akhir barang atau jasa. Berikut langkah perhitungannya:
- Asumsi Awal:
- Tarif PPN saat ini: 11%
- Tarif PPN baru: 12%
- Harga barang sebelum PPN: Rp100.000 (contoh)
- Menghitung Harga Akhir dengan PPN Lama:
Harga akhir = Harga barang sebelum PPN × (1 + Tarif PPN lama)
= Rp100.000 × (1 + 0,11)
= Rp100.000 × 1,11
= Rp111.000 - Menghitung Harga Akhir dengan PPN Baru:
Harga akhir = Harga barang sebelum PPN × (1 + Tarif PPN baru)
= Rp100.000 × (1 + 0,12)
= Rp100.000 × 1,12
= Rp112.000 - Menghitung Persentase Kenaikan Harga:
Kenaikan harga = (Harga akhir baru – Harga akhir lama) ÷ Harga akhir lama × 100%
= (Rp112.000 – Rp111.000) ÷ Rp111.000 × 100%
= Rp1.000 ÷ Rp111.000 × 100%
≈ 0,9%
Fakta Lain Penentu Kesehatan APBN
Selain peningkatan penerimaan melalui pajak, APBN yang sehat juga dipengaruhi oleh efisiensi belanja pemerintah. Sayangnya, penggunaan anggaran, sering kali menjadi sorotan, terutama menjelang tutup tahun anggaran.
Banyak lembaga-lembaga pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pengguna anggaran lainnya, cenderung menghabiskan sisa anggaran untuk program dadakan yang tidak sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Jangka Menengah (RPJM), maupun jangka pendek.
Praktik ini dilakukan agar dana tidak dikembalikan ke kas negara, karena berisiko pada pengurangan anggaran di tahun berikutnya.
Selain itu, kebocoran anggaran akibat korupsi juga menjadi masalah besar. Laporan dari Transparency International menunjukkan bahwa Indonesia masih berada di peringkat ke-96 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) global, dengan skor 34 dari 100 pada 2023. Hal ini memperlihatkan pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap pengelolaan dana publik.
Dampak bagi Masyarakat
Kenaikan PPN di satu sisi adalah langkah strategis untuk menjaga APBN, tetapi di sisi lain menimbulkan kekhawatiran akan tekanan ekonomi bagi masyarakat. Untuk menjaga daya beli, pemerintah perlu memastikan kebijakan subsidi bagi kelompok rentan tetap berjalan, seperti subsidi bahan pokok dan bantuan langsung tunai.
Dengan proyeksi inflasi yang dapat meningkat, keseimbangan antara penerimaan negara dan perlindungan daya beli masyarakat menjadi tantangan besar yang harus diatasi pemerintah.