Makassar, – Menjadi guru di Michigan University Amerika Serikat sangat berbeda tahap-tahapnya dengan menjadi guru di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan di Indonesia, terutama di Sulsel. “Seorang calon guru di Universitas Michigan lebih banyak di sekolah melakukan observasi dan praktik mengajar dibanding dengan bertemu belajar di tempat kuliah,” ujar Syamsudduha, dosen UIN Alauddin Makassar yang berbagi pengalaman dengan para peserta Pertemuan Konsorsia Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan di Hotel Clarion, Makassar (21 April 2016). Syamsudduha merupakan salah satu utusan USAID PRIORITAS melakukan study banding Program Pelatihan Guru baru-baru ini di Universitas tersebut.
Di semester-semester awal, mahasiswa calon guru disana diserahi dahulu melakukan case study pada satu siswa saja di suatu sekolah selama satu semester. “Mereka menemani siswa tersebut membaca di perpustakaan, membahas mata pelajarannya, menemani bercerita dan sebagainya, menjadi bahan penelitian yang dipertanggungjawabkan di depan instruktur mata kuliah dan mahasiswa lain,” ujarnya di depan 20 rektor, wakil rector, dosen dan staf lainnya dari 6 universitas pemroduksi guru yaitu Universitas Negeri Makassar, UIN Alauddin Makassar, Universitas Muhammadiyah Makassar, Univ. Muhammadiyah Pare-pare, Univ. Cokroaminoto Palopo, dan IAIN Palopo.
Case study pada satu siswa menjadi kasus penelitian awal, sebelum melangkah ke study lebih lanjut ke study kelompok siswa dan mengajar mereka. “Setelah mereka mengajar dalam kelompok kecil siswa, mereka selanjutnya menjadi asisten guru pamong dan menjadi guru kelas penuh ketika sudah menginjak tahun kelima, “ ujarnya.
Menurut Syamsudduha, semua mata kuliah disana menuntut praktikum. “Praktikum dalam bentuk pengenalan bidang kerja guru dimulai dari tahun pertama sampai tahun ke lima,” ujarnya. Mata kuliah juga tidak banyak berdasarkan theory, melainkan bersandar pada hasil-hasil penelitian sebelumnya. “Semua pengajaran mahasiswa dilaksanakan melalui kolaborasi antara mahasiswa calon guru dengan guru pamong dan pembimbing dari universitas,” ujarnya menegaskan.
Menanggapi hasil studi banding, tersebut H. Bernard, dosen FMIPA UNM mengatakan bahwa porsi mahasiswa di Indonesia untuk terjun langsung melakukan praktik di sekolah masih sangat kurang. “Kalau dilihat dari paparan tersebut, dari semester awal para mahasiswa disana sudah di sekolah terus. Mulai dari mendampingi satu individu, satu kelompok belajar, menjadi guru bantu di sekolah, sampai diserahi mengajar satu kelas dengan tetap dibawah bimbingan guru pamong dan pembimbing universitas, sehingga ketika keluar mereka benar-benar telah siap. Sedang di universitas kita, rata-rata mahasiswa ke sekolah baru semester tujuh, itu pun pendampingan terhadap mereka juga kadang tidak maksimal,” ujarnya.
Sejalan dengan hal tersebut, baru-baru ini Kemenristek Dikti mencanangkan akan merombak total LPTK dari tahun 2015-2017. Pencanangan tersebut terkait dengan sorotan masyarakat terhadap rendahnya kualitas mutu guru yang dihasilkan LPTK. “Untuk menjamin kualitas guru keluaran LPTK, pemerintah memang perlu mengeluarkan pengaturan baru atas standar mutu penyelenggaraan lembaga pendidikan di LPTK,” ujar Jamaruddin Koordinator Provinsi USAID PRIORITAS Sulsel. (Ajieb)