Virus Oropouche pertama kali terdeteksi pada tahun 1955 di Vega de Oropouche, sebuah daerah di Trinidad dan Tobago. Dalam laporan medis, kasus pertama tercatat pada seorang pekerja hutan yang tiba-tiba mengalami demam tinggi. Penemuan ini menarik perhatian banyak pihak, mengingat kondisi kesehatan para pekerja hutan yang umumnya rentan terhadap berbagai penyakit menular.
Para ilmuwan dan peneliti berusaha memahami karakteristik virus, median penularan, serta dampak kesehatannya. Studi-studi ini sering dilakukan di wilayah-wilayah endemik untuk mendapatkan data yang lebih objektif dan relevan. Dari hasil penemuan ilmiah tersebut, diketahui bahwa virus Oropouche disebarkan oleh gigitan serangga penghisap darah, seperti nyamuk dan berbagai jenis lalat kecil.
Menjelang dekade 1960-an, virus ini mulai menunjukkan peningkatan jumlah kasus, tidak hanya terbatas di Trinidad dan Tobago. Tanpa disadari, virus Oropouche telah menyebar ke berbagai negara di Amerika Selatan, termasuk Brasil, Panama, dan Peru.
Sejak awal kemunculannya di pertengahan abad ke-20 hingga sebelum tahun 2000, virus Oropouche telah menjadi endemik di beberapa negara Amerika Selatan.
Penyebaran Virus Oropouche di Brasil
Pada tahun 2024, Brasil dilanda lebih dari 7 ribu kasus infeksi Virus Oropouche. Penyebaran yang signifikan terutama tercatat di negara bagian Amazonas dan Rondonia. Virus ini menjelma menjadi ancaman kesehatan serius di wilayah tersebut, mengingat banyaknya laporan kasus yang terus meningkat. Penularan Virus Oropouche salah satunya terjadi melalui gigitan lalat dan nyamuk yang sudah terinfeksi.
Di tanah tropis Brasil, kondisi iklim yang hangat dan lembab menyuguhkan lingkungan ideal bagi perkembangbiakan vektor virus ini. Vektor, yang terdiri dari spesies nyamuk dan lalat, memainkan peran kunci dalam menyebarkan infeksi antara manusia. Virus tersebut masuk ke dalam darah manusia melalui gigitan serangga ini, kemudian menginfeksi individu yang tidak sadar akan bahaya yang menanti.
Beberapa kasus tragis juga tercatat di negara bagian Bahia, dimana dua wanita di bawah usia 30 tahun mengalami kematian akibat komplikasi yang muncul dari infeksi Virus Oropouche.
Gejala dan Diagnosis Virus Oropouche
Infeksi Virus Oropouche dapat menimbulkan gejala yang sangat mirip dengan demam berdarah. Di antara gejala-gejalanya adalah demam tinggi, nyeri sendi, sakit kepala, dan ruam. Beberapa pasien juga melaporkan mual, muntah, dan nyeri abdomen. Gejala-gejala ini biasanya muncul dalam waktu 4-8 hari setelah pasien terpapar virus dan dapat berlangsung selama satu minggu atau lebih.
Masa inkubasi penyakit virus Oropouche diketahui sekitar 3-10 hari. Biasanya, penyakit dimulai dengan demam mendadak (38-40°C) disertai sakit kepala (seringkali parah), menggigil, mialgia, dan artralgia.Kemudian muncul tanda dan gejala lainnya termasuk fotofobia (mata sensitif terhadap cahaya), pusing, nyeri retroorbital atau mata, mual dan muntah, atau ruam makulopapular yang dimulai pada batang tubuh.
Selain itu, ada juga gejala yang kurang umum, seperti injeksi konjungtiva, diare, sakit perut parah, dan gejala hemoragik (misalnya epistaksis, perdarahan gingiva, melena, menorrhagia, dan petechiae).Biasanya, gejala virus Oropouche berlangsung kurang dari seminggu (2-7 hari). Namun, pada 60% pasien, gejala dapat muncul kembali beberapa hari atau bahkan beberapa minggu kemudian.
Secara umum, diagnosis awal penyakit virus Oropouche didasarkan pada gejala klinis pasien, lokasi kemungkinan terjadinya infeksi (termasuk tempat dan tanggal perjalanan), dan aktivitas yang berpotensi menimbulkan risiko paparan.
Selama ini, bukti adanya virus dapat dideteksi dalam sampel serum selama minggu pertama infeksi. Virus mudah dibiakkan selama beberapa hari pertama setelah infeksi dan biasanya tidak terdeteksi setelah hari ke 5.
Namun, RNA virus dapat dideteksi selama beberapa hari setelah virus tidak ada lagi. Menjelang akhir minggu pertama penyakit, antibodi IgM terbentuk, diikuti oleh antibodi IgG.
Wabah virus ini berpotensi ada di negara tropis lain di kawasan ASEAN. Terutama habitat liar yang tinggi nyamuk. Meski begitu, ia menekankan potensi wabah ini menjadi pandemi, sangat kecil. Potensi mewabah ini ada di negara-negara tropis lain di ASEAN dan Indonesia cukup besar. Namun, umumnya masih di wilayah-wilayah yang dekat dengan habitat liar atau di hutan, perkampungan, daerah tinggi nyamuk.
Belum ada penularan antar manusia. Potensi jadi pandemi kecil bahkan bisa dikatakan tidak ada. Sementara itu, CDC menuliskan bahwa cara terbaik bagi setiap orang untuk melindungi diri dari virus Oropouche adalah dengan mencegah gigitan hama dan nyamuk. Sebab, saat ini tidak ada vaksin untuk mencegah penyakit tersebut.
Teknik diagnostik molekuler seperti PCR (Polymerase Chain Reaction) dapat digunakan untuk mendeteksi materi genetik virus secara spesifik dan cepat.
Penggunaan kelambu saat tidur dan aplikasi obat nyamuk pada kulit serta pakaian adalah langkah pencegahan pribadi yang efektif.