Pernahkah Anda berselisih dengan tetangga atau rekan kerja? Biasanya, kita mencari win-win solution, duduk bersama, dan mencari jalan keluar yang memuaskan semua pihak. Bayangkan jika pendekatan yang sama ini diterapkan dalam sistem hukum.
Inilah esensi dari Restorative Justice (Keadilan Restoratif). Konsep ini menawarkan cara pandang baru: bahwa tujuan sistem hukum bukan hanya menghukum pelaku, tetapi memperbaiki kerusakan yang terjadi, memulihkan hubungan, dan mengembalikan harmoni dalam masyarakat.
Berbeda dengan proses peradilan pidana konvensional yang berfokus pada pertanyaan: "Hukum apa yang dilanggar?" dan "Hukuman apa yang pantas?", Restorative Justice bertanya: "Siapa yang dirugikan?", "Apa kebutuhannya?", dan "Siapa yang bertanggung jawab untuk memperbaikinya?"
Kapan Restorative Justice Bisa Diterapkan di Indonesia?
Restorative Justice bukan untuk semua kasus. Kebijakan Kejaksaan Republik Indonesia (PERJA No. 15 Tahun 2020) dan Kepolisian memberikan panduan tentang kasus-kasus yang berpotensi diselesaikan dengan pendekatan ini.
Beberapa situasi dimana RJ sering dipertimbangkan:
- Kasus-kasus ringan atau kekerasan ringan, seperti penganiayaan ringan yang timbul dari perselisihan antar tetangga.
- Tindak pidana dengan nilai kerugian yang tidak besar, seperti pencurian dengan nilai ringan atau penggelapan sederhana.
- Perkara yang melibatkan pelaku dan korban yang saling kenal (misalnya, keluarga, teman, atau rekan bisnis).
- Pelaku adalah anak di bawah umur (dalam sistem peradilan anak, RJ sangat diutamakan).
- Kasus yang didorong oleh emosi sesaat atau kesalahpahaman, bukan rencana yang matang.
- Kedua belah pihak (korban dan pelaku) memiliki kemauan untuk berdamai dan menyelesaikan masalah tanpa melalui proses pengadilan yang panjang.
Contoh Kasus Restorative Justice dalam Kehidupan Nyata
Agar lebih jelas, mari kita lihat ilustrasi kasusnya:
Kasus:
Budi dan Andi, yang adalah tetangga, terlibat cekcok soal pembagian air. Emosi memuncak, terjadi saling pukul. Budi mengalami luka lebam dan sebuah kaca jendela rumahnya pecah.
Jalur Konvensional (Pengadilan): Andi dilaporkan ke polisi dengan pasal penganiayaan ringan. Prosesnya panjang: penyidikan, penahanan, sidang pengadilan. Andi mungkin dihukum penjara atau denda. Hubungan mereka hancur total, dan dendam bisa tertanam. Budi mungkin hanya mendapat kepuasan simbolis, tetapi tidak mendapatkan ganti rugi yang cepat untuk kacanya.
Jalur Restorative Justice: Atas persetujuan kedua pihak, mereka memilih mediasi dengan didampingi pihak ketiga yang netral (bisa dari kepolisian, tokoh masyarakat, atau lembaga adat). Dalam mediasi:
- Budi (korban) bisa menyampaikan perasaan dan kerugian yang dialami (luka, kaca pecah, rasa tidak nyaman).
- Andi (pelaku) mendengarkan, mengakui kesalahan, dan menyesali perbuatannya.
- Mereka bersama-sama mencari solusi. Andi mungkin setuju untuk menanggung biaya pengobatan Budi, memperbaiki kaca jendela, dan meminta maaf secara tulus.
- Mereka menyepakati untuk tidak mengulangi perbuatan dan hidup rukun sebagai tetangga.
Dari contoh ini, terlihat jelas bahwa RJ menghasilkan solusi yang lebih membumi dan memulihkan.
Manfaat Restorative Justice untuk Masyarakat
Mengadopsi pendekatan ini membawa banyak keuntungan, tidak hanya untuk pelaku dan korban, tetapi juga untuk sistem hukum dan masyarakat luas:
- Untuk Korban: Suara mereka didengar, kebutuhan mereka terpenuhi (baik materiil maupun immateriil seperti permintaan maaf), dan rasa trauma bisa berkurang karena merasa mendapatkan keadilan yang nyata.
- Untuk Pelaku: Mereka diberi kesempatan untuk bertanggung jawab langsung atas perbuatannya, menebus kesalahan, dan reintegrasi ke masyarakat tanpa stigma "mantan narapidana". Ini menurunkan angka pengulangan tindak pidana (recidivism).
- Mengurangi Beban Sistem Peradilan: Pengadilan menjadi tidak overload dengan perkara-perkara ringan, sehingga dapat fokus menangani perkara berat dan kompleks.
- Memperkuat Ikatan Sosial: Proses ini membangun dialog, empati, dan pemahaman antar anggota masyarakat, sehingga komunitas menjadi lebih harmonis dan resilient.
- Proses yang Lebih Cepat dan Efisien: Dibandingkan proses pengadilan yang bisa memakan waktu bulanan bahkan tahunan, RJ dapat menyelesaikan konflik dalam hitungan hari atau minggu dengan biaya yang minimal.
Kesimpulan Redaksi
Restorative Justice bukanlah cara untuk "melepaskan" pelaku dari tanggung jawab. Justru sebaliknya, ini adalah cara untuk meminta pertanggungjawaban yang lebih mendalam dan bermakna. Konsep ini mengembalikan kearifan lokal Indonesia yang sangat menghargai musyawarah untuk mufakat dan gotong royong.
Jika Anda terlibat dalam konflik yang memungkinkan, tidak ada salahnya mempertimbangkan opsi ini. Dengan memilih berdamai dan berdialog, kita bersama-sama membangun masyarakat yang tidak hanya taat hukum, tetapi juga penuh empati dan pemulihan.