Setiap tanggal 5 Oktober, seluruh Bangsa Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI). Momen ini senantiasa menjadi pengingat akan dedikasi, pengorbanan, dan peran sentral TNI sebagai pilar pertahanan dan penjaga kedaulatan negara. Saat kita menatap perayaan HUT ke-80 yang akan tiba pada tahun 2025, ada harapan tulus yang menyertai, serta kekhawatiran yang perlu diurai, terutama di tengah dinamika suksesi kepemimpinan dan perdebatan seputar Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI.
Sebagai bagian integral dari perjalanan bangsa, TNI telah membuktikan diri sebagai garda terdepan dalam menjaga keutuhan wilayah, melindungi keselamatan segenap rakyat, dan berkontribusi pada pembangunan nasional. Rasa terima kasih yang mendalam patut kita haturkan kepada para prajurit yang setia mengemban amanah, dari Sabang hingga Merauke, dalam setiap tugas dan operasi. Harapan kita selalu sama: TNI yang kian profesional, modern, netral, dan selalu dekat di hati rakyat, menjadi institusi yang solid dan terpercaya.
Dinamika Panggung Suksesi Menjelang 2025
Perayaan HUT ke-80 TNI pada tahun 2025 akan menjadi lebih dari sekadar seremoni. Ia akan menjadi panggung awal konfigurasi kepemimpinan TNI di bawah Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Ini adalah momen krusial untuk mencermati siapa saja perwira tinggi yang diproyeksikan akan mengisi pos-pos strategis, yang pada gilirannya akan menentukan arah kebijakan pertahanan dan keamanan nasional di masa depan.
Beberapa nama menonjol terlihat dalam dua perhelatan besar, baik upacara HUT TNI 2025 maupun upacara gelar pasukan operasional dan kehormatan militer di Batujajar, Bandung, pada 10 Agustus 2025 lalu. Kehadiran mereka di panggung utama bukan tanpa makna; ini adalah sinyal awal dari peta jalan suksesi kepemimpinan:
- Letjen Bambang Trisnohadi (Akmil 1993): Sebagai Komandan Upacara HUT TNI 2025, Letjen Bambang Trisnohadi tampil sebagai figur sentral. Kini menjabat Pangkogabwilhan 3 untuk wilayah Timur Indonesia, penunjukannya dalam peran seremonial penting ini mengindikasikan bahwa ia sedang ‘naik panggung’ dan kemungkinan besar dipersiapkan untuk jabatan strategis di Mabes TNI atau Mabesad.
- Letjen Kunto Arief Wibowo (Akmil 1992): Memimpin defile kelompok perwira tinggi TNI pada HUT TNI 2025, Letjen Kunto, putra dari Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, menunjukkan soliditas dan penerimaan luas di kalangan elite militer. Dengan rekam jejak kuat di wilayah teritorial dan posisinya sebagai Pangkogabwilhan 1 wilayah Barat Indonesia, ia memiliki potensi besar untuk menjadi jenderal bintang empat.
- Letjen Muhammad Fadjar (Akmil 1993): Panglima Kostrad ini menjadi komandan upacara gelar pasukan operasional dan kehormatan militer di Batujajar. Penugasan ini menguatkan posisinya dalam bursa suksesi pimpinan TNI AD, mengingat Kostrad kerap menjadi ‘jalur cepat’ menuju posisi puncak.
- Jenderal TNI Tandyo Budi Revita (Akmil 1991): Saat ini menjabat sebagai Wakil Panglima TNI, Jenderal Tandyo adalah satu-satunya figur dalam daftar ini yang sudah menyandang pangkat bintang empat penuh. Dengan rekam jejak komando yang lengkap dan dikenal profesional serta relatif netral secara politik, posisinya sangat strategis. Ia bisa menjadi penjaga stabilitas transisi atau bahkan pengganti KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak yang sudah sekitar dua tahun di posisi tersebut, terutama jika Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk melakukan rotasi elite militer.
Kalkulasi kekuasaan di TNI tidak semata-mata soal loyalitas. Presiden Prabowo Subianto, yang memahami betul stabilitas TNI sebagai kunci stabilitas politik nasional, tampaknya cenderung memilih perwira tinggi yang profesional, memiliki basis kuat di internal TNI, dan tidak terlalu berafiliasi secara politik terbuka. Ini adalah sinyal positif bagi penguatan institusi militer yang menjaga jarak dari politik praktis.
Bursa Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) terlihat semakin kompetitif. Setidaknya ada empat nama utama yang disorot: Jenderal Tandyo Budi Revita, Letjen Kunto Arief Wibowo, Letjen Muhammad Fadjar, dan Letjen Bambang Trisnohadi. Tidak menutup kemungkinan pula munculnya ‘kuda hitam’ dari nama-nama letnan jenderal lain, seperti Kasum TNI Letjen Richard Taruli Horja Tampubolon (Akmil 1992), Wakil KSAD Letjen Saleh Mustafa (Akmil 1991), Sekjen Kemenhan Letjen Tri Budi Utomo (Akmil 1994), serta Danpussenif Letjen Iwan Setiawan (Akmil 1992).
Kontroversi RUU TNI: Menjaga Keseimbangan dan Kepercayaan Publik
Namun, di balik optimisme suksesi kepemimpinan yang profesional, bayang-bayang kekhawatiran membayangi publik, terutama terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI. RUU ini, yang tengah digodok, memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan. Masyarakat sipil mengemukakan kekhawatiran akan potensi perluasan peran TNI di luar fungsi pertahanan, yang dikhawatirkan dapat mengembalikan nuansa ‘dwifungsi’ dan mengancam supremasi sipil. Isu seperti penempatan perwira aktif di jabatan sipil dan perluasan wilayah operasi non-perang menjadi sorotan utama.
Di sisi lain, institusi TNI tentu memiliki perspektifnya sendiri, yang mungkin didasari pada kebutuhan adaptasi terhadap ancaman modern, legalitas operasi, dan peningkatan kesejahteraan prajurit. Penting bagi kita untuk memahami bahwa pembaruan regulasi haruslah sejalan dengan semangat reformasi TNI yang telah berjalan, menjaga agar TNI tetap berada dalam koridor profesionalismenya sebagai alat negara, bukan alat golongan atau kepentingan politik tertentu.
TNI Menuju Masa Depan: Harapan untuk Profesionalisme dan Inklusivitas
Perjalanan TNI menuju HUT ke-80 dan seterusnya adalah tentang bagaimana ia beradaptasi dengan tantangan zaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar yang telah dibangun dengan susah payah. Harapan terbesar kita adalah agar TNI tetap menjadi institusi yang kuat, modern, dan profesional, yang sepenuhnya mengabdi pada negara dan bangsa, serta teguh menjaga netralitasnya. Ini adalah fondasi utama kepercayaan publik dan legitimasi institusi.
Kekhawatiran yang muncul terkait RUU TNI sesungguhnya adalah bentuk kepedulian masyarakat agar TNI tetap menjadi kebanggaan, dihormati, dan dicintai. Dibutuhkan dialog yang terbuka, jujur, dan konstruktif antara pemerintah, TNI, akademisi, dan elemen masyarakat sipil untuk menghasilkan regulasi yang inklusif, transparan, dan menjamin supremasi sipil serta prinsip-prinsip demokrasi.
Presiden Prabowo Subianto tampaknya tidak akan gegabah dalam meramu kombinasi antara pengalaman, loyalitas, profesionalisme, dan penerimaan di kalangan perwira tinggi. Tujuannya jelas: memastikan TNI tetap solid, netral, dan responsif terhadap tantangan nasional dan global ke depan. Di antara para jenderal yang kini sedang ‘dipersiapkan’, satu atau lebih dari mereka akan segera mengenakan bintang empat penuh, bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai penentu arah kekuatan militer Indonesia dalam lima tahun mendatang. Mari kita kawal bersama, demi TNI yang semakin kuat, profesional, dan dicintai rakyatnya.