Sebagian peluang tersebut diantaranya nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pengolah ikan dan kegiatan usaha kelautan perikanan lainnya berlangsung secara masif.
Peluang ini, menurut Ketua Umum Kesatuan Pelajar, Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI) Hendra Wiguna harus dibarengi dengan infrastruktur kebijakan yang baik.
“Jika desa pesisir saja ada lebih dari 11.000, maka besar kemungkinan bonus demografi itu akan berdampak positif apabila potensi kelautan dan perikanan dengan jumlah desa pesisir dan sumber daya pemuda pesisir dapat dijadikan sebagai kekuatan ekonomi kelautan perikanan,” kata Hendra dalam keterangannya, Sabtu malam (13/1).
Dia menjelaskan soal bisnis hasil kelautan perikanan memang erat hubungannya dengan rantai dingin, terlebih geografis Indonesia sebagai negara kepulauan tentu perlu cara-cara atau ide-ide selayaknya bangsa kepulauan. Menurutnya, persoalan rantai dingin harus jadi konsen, agar kualitas produk terjaga.
“Hulu ke hilir, usaha di sektor kelautan perikanan perlu ditata kembali. Mulai dari bagaimana agar laut kita sehat kembali, ongkos produksi murah, hingga jaminan produk dibeli dengan harga yang menguntungkan, serta bagaimana produk tersebut menjadi konsumsi bangsa,” beber Hendra
Lanjut dia, penataan kembali harapannya akan menjadikan penilaian pemuda terhadap sektor kelautan perikanan tidak lagi 3D yakni Dangerous (Berbahaya), Dirty (Kotor) dan Desperate (Menyedihkan).
Sehingga, sambung Hendra, selain tercipta wirausaha juga akan mendorong serapan tenaga kerja yang harapannya menekan angka kemiskinan ekstrem di pesisir.
“Merujuk pada data BPS (2022) jumlah penduduk dengan kemiskinan ekstrem di wilayah pesisir sebanyak 3,9 juta orang. Sementara, jumlah penduduk pesisir yang miskin sebanyak 17,74 juta orang,” bebernya lagi.
“Tentu jadi keprihatinan bagi kita semua, mengingat kita memiliki Laut teritorial 290.000 km persegi, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 3.000.000 km persegi, Luas perairan Indonesia 6.400.000 km persegi, panjang garis pantai 108.000 km. Semestinya kekayaan tersebut, mampu mencukupi dan mengangkat derajat bangsa kita,” tegas dia.
Masih kata Hendra, pemerintah harus hadir menyiapkan bagaimana agar kesempatan berwirausaha bagi pemuda pesisir terbuka. Mulai dari pemberian edukasi dunia usaha, kemudahan permodalan, akses informasi, kemitraan dengan swasta atau BUMN dan lain sebagainya yang sudah terencana dengan baik.
“Dan yang terpenting adalah bagaimana kegiatan usaha tersebut menguntungkan, sehingga akan hadir pemuda pesisir yang menjadi wirausaha di desa-desa pesisir,” tegasnya lagi
“Selain memberikan sarana dan prasarana kepada pemuda pesisir agar menjadi wirausaha, pemerintah juga harus peka terhadap dampak perubahan iklim yang nyatanya berdampak terhadap kegiatan usaha kelautan perikanan. Soal ini, jangan sampai luput dari perhatian,” kata Hendra.
Pola kebiasaan konsumen hasil laut di Indonesia
Selain cold-chain dari sejak penangkapan hasil laut hingga tersaji ke atas meja makan, yang masih tambal sulam dan berbiaya tinggi, tantangan lain yang akan dihadapi oleh pemuda yang ingin berwirausaha di bidang kelautan dan perikanan, adalah kebiasan konsumen lokal.
Konsumen kita menganggap ikan segar lebih sehat dan lebih enak dari ikan beku, demikian kata Kennedy Marsan di tempat terpisah, pemenang lomba inovasi pendingin makanan ramah energi dan biaya tahun 2019 dari Universitas Tadulako.
“Padahal, lemak dan protein ikan justru rusak jika dibekukan dengan suhu di bawah 4 derajat Celcius. Tetapi budaya dan perspektif kita, masih menganggap ikan segar lebih sehat dan bergizi dari ikan beku. Sementara ikan yang kita anggap segar tersebut, hampir seluruhnya hasil tangkapan beberapa hari sebelumnya yang dibekukan dan dicairkan kembali,” katanya lagi.
“Kami sudah meneliti dan memiliki data observasi, ikan yang dibekukan di suhu 4 derajat Celcius, memiliki rasa yang segar seperti baru dipancing dari laut, ketimbang ikan yang dibekukan hingga di bawah suhu 0 derajat Celcius. Kadar protein, lemak Omega3 dan nutrisi lainnya hampir seluruhnya utuh,” tutup Kennedy.