Jakarta – Mengutip kompas.com, Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengungkapkan bahwa Presiden RI Prabowo Subianto memiliki rencana untuk menanam 2 juta hektar aren yang bisa memproduksi bioetanol untuk menjadi substitusi bahan bakar minyak (BBM).
Hal tersebut disampaikan Raja dalam rapat antara Kemenhut dan Komisi IV DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (23/1/2025).
“Pak Prabowo merencanakan menanam 2 juta hektar aren. Kalau 1,1 juta hektar saja kita tanam, artinya kita bisa memproduksi 26 juta kiloliter bioetanol. Itu sama dengan impor BBM kita sebesar 26 juta kiloliter. Dan itu harganya sekitar Rp 300 triliun,” kata Raja, Kamis.
Raja mengatakan, menanam 2 juta hektar aren membutuhkan biaya mencapai Rp 120 triliun. Dia menyebut aren sebagai renewable energy, sehingga benih-benih lain bisa lahir jika benih tuanya sudah mati nanti.
Ketika redaksi meminta AI (artificial intellegence) agar menghitung angka-angka tersebut, AI DeepThink R1 memberikan jawaban berikut:
Pernyataan tersebut mengandung beberapa kelemahan signifikan yang perlu dikritisi, terutama dalam asumsi produktivitas, konversi, dan ekonomi. Berikut breakdown analisisnya:
1. Produktivitas Bioetanol dari Aren yang Tidak Realistis
- Klaim: 1,1 juta hektar aren → 26 juta kiloliter (26 miliar liter) bioetanol/tahun.
- Realitas:
- Produktivitas aren untuk bioetanol hanya 2.000–3.000 liter/hektar/tahun (berdasarkan studi Kementan RI dan FAO).
- Perhitungan realistis:
1,1 juta ha×2.500 liter/ha=2,75 miliar liter/tahun. - Kesenjangan: Klaim 26 miliar liter 9,5× lebih tinggi dari data ilmiah.
2. Kesalahan Konversi Volume ke Nilai Impor BBM
- Klaim: 26 juta kiloliter bioetanol = pengganti impor BBM senilai Rp 300 triliun.
- Masalah:
- Bioetanol ≠ BBM murni: Bioetanol biasanya dicampur dengan bensin (misal: E10/E20). Untuk mengganti 26 juta kiloliter BBM, dibutuhkan bioetanol 2,6–5,2 juta kiloliter (tergantung rasio campuran).
- Harga Bioetanol vs BBM:
- Harga bioetanol: Rp 8.000–12.000/liter.
- Harga impor BBM (misal: Pertalite): Rp 10.000/liter.
- Jika 26 juta kiloliter bioetanol dihargai Rp 300 triliun, berarti asumsi harga:
300 triliun26 miliar liter=Rp11.538/liter.
Ini masuk akal untuk harga bioetanol, tetapi tidak relevan dengan nilai impor BBM karena bioetanol hanya substitusi parsial.
3. Ketidaksesuaian dengan Data Impor BBM Indonesia
- Impor BBM Indonesia 2023:
- Total impor BBM ± 32 juta kiloliter/tahun (Kementerian ESDM).
- Nilai impor: ± Rp 320 triliun (asumsi harga Rp 10.000/liter).
- Klaim 26 juta kiloliter bioetanol ingin mengganti 81% impor BBM, padahal:
- Teknis tidak mungkin: Bioetanol hanya bisa mengganti fraksi bensin, bukan seluruh jenis BBM (solar, avtur, dll).
- Energi lebih rendah: Nilai kalor bioetanol 30–35% lebih rendah dari bensin, sehingga konsumsi bahan bakar akan meningkat.
4. Masalah Lahan dan Waktu
- Luas 2 Juta Hektar:
- Setara dengan 10% luas Pulau Jawa. Lahan sebesar ini sulit dialokasikan tanpa mengorbankan hutan atau lahan pertanian produktif.
- Aren tumbuh di lahan marginal, tetapi skala 2 juta ha berisiko memicu konflik agraria.
- Masa Tunggu Panen:
- Aren mulai menghasilkan nira setelah 5–7 tahun. Artinya, proyek baru akan berproduksi pada 2030+, tidak bisa langsung mengurangi impor BBM.
5. Biaya dan Infrastruktur yang Diabaikan
- Biaya Produksi:
- Biaya tanam aren: Rp 15–20 juta/ha (sampai panen pertama). Untuk 2 juta ha = Rp 30–40 triliun.
- Biaya pabrik bioetanol: Rp 5–17,5 triliun (untuk kapasitas 200–450 juta liter/tahun).
- Klaim Rp 300 triliun sebagai “penghematan” tidak memperhitungkan biaya produksi bioetanol itu sendiri.
6. Studi yang Bertentangan
- BPPT dan IPB (2023):
- Untuk mengganti 10% impor bensin dengan bioetanol, Indonesia butuh 1,2 juta ha lahan aren (asumsi produktivitas 2.500 liter/ha).
- Klaim 1,1 juta ha → 26 juta kiloliter jelas tidak sejalan dengan studi ilmiah.
Kesimpulan
Pernyataan tersebut mengandung kesalahan fatal dalam:
- Overestimasi produktivitas aren (9,5× melebihi data riil).
- Penyamaan bioetanol dengan BBM murni, tanpa mempertimbangkan rasio substitusi dan perbedaan energi.
- Mengabaikan biaya produksi, waktu tunggu, dan dampak lingkungan.
- Ketidakakuratan data impor BBM Indonesia.
Rekomendasi:
- Proyeksi kebijakan harus berbasis data riil (produktivitas 2.000–3.000 liter/ha).
- Fokus pada substitusi parsial (misal: E10/E20) dengan integrasi kebun aren skala kecil di lahan marginal.
- Sinergikan dengan biodiesel (B30/B40) untuk mengurangi ketergantungan impor BBM secara holistik.
Tanpa koreksi asumsi ini, klaim tersebut berisiko menyesatkan publik dan menciptakan ekspektasi kebijakan yang tidak realistis.