Di teras sebuah rumah klasik bergaya victoria duduk seorang bapak sepuh, sepertinya sedang menunggu.
Tidak nampak kegundahan di wajahnya, apakah yang ditunggunya akan datang atau tidak. Bapak sepuh duduk tenang di kursi teras dari anyaman rotan. Teras, kursi, dan rumah yang sebentar lagi akan ditinggalkannya, setelah semua anggota keluarga mendahului. Suka rela pekan lalu daftarkan dirinya di sebuah panti jompo hingga waktunya tiba.
Di usia menjelang 90 tahun, hampir semua kenyataan hidup telah ditemuinya.
Sebuah mobil van masuk ke halaman rumahnya, seorang pemuda turun dan menyalaminya. “Kita berangkat sekarang pak?” Kata pemuda tadi. Dia petugas panti yang akan menjemputnya.
“Duduklah dulu, banyak hal tanpa dikejar tetap akan ditemui.” Jawabnya sembari tersenyum.
“Termasuk tinggalkan rumah ini. Maaf sudah mengucapkan kalimat barusan, tapi kita harus cepat-cepat ke panti jompo. Selain bapak ada seorang lagi yang akan masuk panti hari ini. Hanya ada 3 kamar kosong. Karena bapak lebih dulu mendaftar, bapak berhak duluan memilih kamar yang bapak rasa paling nyaman.”
“Memangnya kamar di sana berkelas-kelas?”
“Semua fasilitas kamar berstandar sama. Saya hanya ingin memastikan bapak mendapatkan kamar yang bapak nyaman di dalamnya. Seperti di hotel meski setiap kamar isinya sama, namun ada kamar yang membuat kita lebih nyaman dibanding kamar lain.”
“Di kamar manapun aku akan nyaman dan bahagia.”
“Saya sudah mengantar puluhan sepuh untuk memilih kamar mereka sendiri, dan tetap protes setelah mendiami kamar pilihannya sendiri.”
“Padahal kebahagiaan bisa diputuskan dari sekarang, tanpa melihat-lihat kamar.”
“Bisa begitu?”
“Bila kebahagiaanmu ditentukan oleh apa yang harus kau tinggalkan dan apa yang harus kau terima, kebahagiaan tidak pernah kau jangkau ‘Nak.”
“Apapun itu?”
“Apapun itu. Menjadi petani garam yang menyesali hujan turun sebelum menutupi jemuran garamnya atau menjadi kodok yang bernyanyi bahagia oleh hujan, bisa kau putuskan jauh sebelum turun hujan.”
***
Kisah di atas salah satu dari beberapa kisah penuh hikmah dari buku berjudul “Tazkiyatun Nafs”. Mungkin berbeda dengan teks aslinya, semoga masih berkonteks sama.
Barusan gugling “Tazkiyatun Nafs” artinya menyucikan jiwa, menyucikan nafsu.
Berbeda dengan kitab “Tazkiyatun Nafs” formal yang kukenal sebelumnya, tentang tata cara dan ritual pembersihan diri. Buku foto kopian yang kubaca sambil menunggu hujan reda setelah ashar di masjid yang dibangun seorang jenderal purnawirawan, berisi kumpulan kisah hikmah dan pengalaman tentang menyucikan jiwa. Hanya sempat kubaca sampai halaman 48, hujan reda dan harus kembali berjalan.
Satu dari banyak hikmah di hari Jum’at penuh berkah kemarin, selain ceramah khatib jum’at yang mencerahkan tentang kesalehan ritual (formal) yang mestinya tidak berjarak dengan kesalehan sosial. Persis seperti dua versi buku tentang ‘Tazkiyatun Nafs’ yang saling melengkapi. Tentang kesalehan ritual yang –salah satu tolok ukurnya– harus diikuti dengan kesalehan sosial.
Tentang kesalehan ritual dan kesalehan sosial yang tidak boleh terpisah dan berjarak sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Seorang sufi pernah menyatakan ‘kecemburuannya’ pada Rasulullah SAW. “Andai aku diberikan kesempatan oleh Allah untuk menemui-Nya langsung seperti saat mi’rajnya Rasulullah. Sungguh, tak mau aku kembali, Ingin tetap bersama-Nya di sana, toh Muhammad SAW. tetap kembali menemui umatnya.” Setelah menemui-Nya melalui kesalehan ritual, Rasulullah SAW. kembali menemui-Nya yang meliputi segalanya.