Ada sebuah pemandangan yang tak akan pernah saya lupakan selama beberapa tahun diupah sebagai tenaga ahli IT di sebuah balai kota. Pemandangan itu bukanlah tentang kerumitan coding sistem e-budgeting, melainkan sorot mata para pegawai honorer saat pengumuman hasil tes CPNS dibagikan. Ada yang sujud syukur, ada yang lunglai. Bagi mereka, selembar SK Pegawai Negeri Sipil adalah tiket emas menuju dunia yang “aman dan nyaman”.
Dari balik meja saya, saya menyadari sebuah kebenaran fundamental. Pilar-pilar demokrasi yang kita agung-agungkan—Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, bahkan Media—ternyata diisi oleh manusia-manusia yang lahir dari rahim perjuangan hidup yang keras. Manusia yang memandang posisi bukan sebagai amanah pelayanan, melainkan sebagai puncak pencapaian pribadi setelah berjuang mati-matian.
Dan di sinilah, saya pikir, sumber dari segala patologi sistemik yang kita hadapi hari ini bermula.
Dari Perjuangan Hidup ke Logika “Cari Aman”
Kita sering geram dengan budaya “Asal Bapak Senang” (ABS) yang membuat laporan di atas kertas selalu hijau dan wangi, sementara kenyataan di lapangan busuk dan penuh masalah. Namun, perilaku ini bukanlah lahir dari kejahatan, melainkan dari logika bertahan hidup. Akibatnya, banyak program-program dan proyek-proyek yang berbasis citra semata, sibuk membangun monumen prestasi pribadi dan institusi, yang tidak menyelesaikan masalah nyata. Menanam citra untuk bertahan dalam benteng, dan atau untuk kembali lagi dalam siklus lima tahunan.
Bayangkan Anda adalah seorang anak desa yang orang tuanya menjual sawah untuk menyekolahkan Anda. Setelah akhirnya berhasil menembus “benteng” dan menjadi seorang ASN, apakah Anda akan mengambil risiko dengan melaporkan bahwa proyek atasan Anda kemungkinan besar akan gagal?
Jawabannya kemungkinan besar tidak. Mengakui kesalahan adalah sebuah kemewahan. Prinsip utamanya adalah: utamakan selamat, bukan utamakan perbaikan. Logika “cari aman” ini menjadi penyakit, menyebar hingga menjadi budaya institusional. Hasilnya? Sebuah pemerintahan yang sibuk dengan manajemen persepsi, bukan manajemen kinerja. Sebuah sistem yang alergi terhadap data yang jujur dan kritik yang membangun.
Empat Pilar Sebagai Benteng Pertahanan Status Quo
Penyakit ini merasuk ke semua lini. Di Eksekutif, ia menjadi standar operasional. Di Legislatif, kursi parlemen yang diraih dengan biaya miliaran harus diamankan, sehingga fungsi pengawasan menjadi sekadar formalitas demi menjaga stabilitas koalisi. Di Yudikatif, karier aparat seringkali bergantung pada kemampuan untuk tidak menciptakan kontroversi, sehingga impunitas institusional menjadi lumrah.
Lalu bagaimana dengan pilar keempat, sang “anjing penjaga”? Seorang kawan jurnalis pernah berkata getir, “Media itu, Mas, pada dasarnya adalah entitas bisnis yang berusaha berdamai dengan idealisme.” Terlalu keras mengkritik berarti siap kehilangan kue iklan dari pemerintah dan akses liputan. Maka, kompromi pun dilakukan. Kesalahan pemerintah seringkali dibingkai sebagai “kekurangan yang perlu dimaklumi”.
Harga yang Kita Bayar: Darah di Balik Stabilitas Semu

Ketika setiap pilar diisi oleh para “pencari selamat”, kita sebagai sebuah bangsa membayar harga yang sangat mahal. Kita mendapatkan stabilitas semu, mengorbankan dinamika belajar dari kesalahan yang mutlak dibutuhkan untuk bertumbuh dan berkemajuan. Negara terlihat tenang, data-data statistik resmi menunjukkan keberhasilan. Namun di bawah permukaan, masalah-masalah fundamental terus bernanah tanpa pernah diobati.
Dan sesekali, nanah itu pecah. Meledak menjadi amarah kolektif di jalanan.
Kita semua menyaksikannya baru-baru ini. Ketika ribuan orang turun ke jalan, membawa tuntutan konkret 17+8 yang lahir dari akumulasi kekecewaan. Jalanan yang tadinya abu-abu kini diwarnai simbol-simbol perlawanan: biru resisten pada ikat kepala mahasiswa, pink lembut jilbab Ibu Ana yang orasinya menggetarkan di hadapan barikade aparat, dan tentu saja, hijau yang paling menyayat hati. Hijau warna jaket ojek online milik Affan, seorang pemuda yang datang untuk bersuara, namun pulang tak bernyawa setelah tubuh ringkihnya digilas roda-roda baja kendaraan taktis.
Peristiwa itu adalah manifestasi paling brutal dari jurang antara “fakta resmi” dan fakta di lapangan. Di dalam benteng-benteng kekuasaan, laporan ABS terus menumpuk, mengklaim kebijakan pro-rakyat dan penyerapan anggaran yang sukses. Namun di jalanan, Affan dan ribuan lainnya merasakan kenyataan yang berbeda—kenyataan yang membuat mereka merasa perlu meninggalkan nafkah sehari-hari untuk berteriak di depan istana.
Lalu, apa respons dari puncak pilar eksekutif setelah nyawa melayang dan fasilitas publik rusak?
Kita mendengar sebuah pidato yang familier. Presiden muncul di layar kaca, dengan wajah prihatin, mengucapkan “duka cita yang mendalam atas jatuhnya korban”. Namun, kalimat berikutnya adalah sebuah manuver klasik untuk menyelamatkan benteng: “Pemerintah sangat menyayangkan aksi anarkistis dan perusakan fasilitas umum yang vital bagi masyarakat. Diduga kuat aksi ini telah ditunggangi oleh oknum-oknum yang ingin menciptakan kekacauan.” Di akhir, sebuah perintah normatif diberikan, “Saya telah memerintahkan aparat untuk mengusut tuntas pelaku kerusuhan sesuai prosedur hukum yang berlaku, dan mengimbau masyarakat untuk tenang serta tidak terprovokasi.”
Dengarkan baik-baik apa yang tidak dikatakan dalam pidato itu. Tidak ada pengakuan sedikit pun bahwa demonstrasi itu adalah akibat dari kebijakan yang gagal dan statemen-statemen nir-empati para pejabat dan wakil rakyat (katanya) sambil flexing kehedonan. Tidak ada pembahasan mengenai akar masalah dari tuntutan 17+8 itu. Tidak ada introspeksi.
Narasi resmi telah diciptakan: Affan bukan korban kegagalan negara dalam mendengar aspirasi, melainkan korban dari “kerusuhan”.
Ibu Ana bukan representasi suara ibu pertiwi yang terluka, melainkan bagian dari “massa yang terprovokasi”.
Tuntutan mereka yang konkret direduksi menjadi “aksi anarkistis”.
Ini adalah puncak dari keengganan mengakui kesalahan—sebuah mekanisme pertahanan diri yang mengorbankan kebenaran demi menjaga citra “aman dan terkendali”.
Saatnya Merobohkan Benteng Keamanan dan Kenyamanan Semu Masing-Masing

Sebagai seorang praktisi IT, saya tahu betapa berbahayanya sistem yang tidak memiliki mekanisme error reporting. Sistem seperti itu akan terus berjalan memproses data sampah, hingga suatu saat ia akan crash dan menyebabkan kerusakan total. Negara kita saat ini berjalan seperti itu.
Kematian Affan dan warna-warni perlawanan di jalanan bukanlah “gangguan keamanan”. Ia adalah sebuah fatal error message yang dikirimkan oleh rakyat. Pesan bahwa sistem yang dibangun di atas logika “cari aman” para penghuninya sudah tidak lagi bisa menopang dirinya sendiri.
Lantas, apakah kita harus menyalahkan individu-individu di dalam benteng itu? Mungkin tidak sepenuhnya. Mereka adalah produk dari sebuah sistem sosial-ekonomi yang menjadikan posisi di pemerintahan sebagai satu-satunya tiket menuju kehidupan yang terjamin.
Jalan keluarnya pun bukan sekadar meneriakkan slogan. Kita perlu membangun sebuah ekosistem di mana kesejahteraan dan rasa aman tidak hanya terkonsentrasi di dalam pilar-pilar demokrasi.
Hanya dengan begitu, posisi di dalam pemerintahan bisa kembali ke fitrahnya: bukan sebagai tempat mencari selamat, melainkan sebagai ladang pengabdian. Sampai hari itu tiba, benteng-benteng itu akan tetap kokoh berdiri, menara gading yang tuli. Dan di luarnya, akan selalu ada jaket-jaket hijau lain yang siap menjadi martir, menagih janji kemajuan yang tak kunjung tiba.

























